Sabtu, 13 Desember 2014

Peluang Rekrut PNS dari K2

KOTA – Moratorium rekrutmen calon pegawai negeri sipil (CPNS) yang diterapkan pemerintah pusat ternyata belum harga mati bagi tenaga honorer kategori dua (K2). Sebab, masih ada peluang mereka diangkat menjadi pegawai negeri. ‘’Memang ada penerimaan lagi untuk K2 tapi tidak semuanya lolos menjadi PNS,’’ terang kepala Badan Kepegawaian Daerah (BKD) Ponorogo Syaifur Rachman, kemarin.
Dia menyebut tenaga honorer yang masuk daftar K2 di Ponorogo mencapai 533 orang. Dari jumlah itu, 207 lolos seleksi CPNS beberapa waktu lalu. Kendati seorang akhirnya mengundurkan diri dan dua lainnya mengalami kendala di pembekasan. ‘’Sebanyak 326 honorer K2 sisanya masih diberi kesempatan menjadi PNS tapi tidak semuanya diterima,’’ ungkapnya.
Menurut Syaifur, Ponorogo mendapat jatah 100 formasi CPNS dari jalur K2. Yang mendapat prioritas adalah tenaga pendidikan. Sedangkan formasi tenaga teknis dan kesehatan masih tanda tanya. ‘’Kalau mekanisme penerimaannya, masih dikoordinasikan dengan Kementerian Pemberdayaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi. Kami berharap surat resminya segera turun,’’ jelasnya.
Dia memprediksi pemerintah pusat bakal merekrut K2 menjadi PNS melalui perangkingan skor hasil tes sebelumnya. Langkah itu bakal menekan biaya rekrutmen. ‘’Tapi bisa juga lewat mekanisme tes tulis seperti sebelumnya. Kemungkinan lebih besar adalah perankingan. K2 yang skoring tesnya berada di posisi atas memiliki peluang lolos, khususnya honorer guru,’’ ungkapnya.
Syaifur mengklaim penambahan 100 formasi dari jalur K2 itu tetap belum mampu memenuhi kebutuhan guru kelas sekolah dasar negeri (SDN). Sebab, ada 1.240 kursi guru kelas yang selama ini belum terisi di 21 kecamatan di Ponorogo. ‘’Paling tidak mengurangi beban pemerintah daerah memenuhi guru kelas PNS. Kekurangan saat ini masih diisi guru honorer,’’ tegasnya. (aan/hw)
align="center" behavior="alternate" width="90%"> selamat datang para pembaca

Pengangkatan Tenaga Honorer K 2 sebagai PNS Quo Vadis Penataan Tenaga Honorer

Pengangkatan Tenaga Honorer K 2 sebagai PNS
Quo Vadis Penataan Tenaga Honorer
(itu termasuk) Pendidik dan Tenaga Kependidikan
Suatu tantangan bagi Dinas Pendidikan
BKD Kabupaten Ponorogo
Dan Pasangan ADA

Oleh : Rochmadi “Soni PNS Raja Gugat” Sularsono


SK Pengangkatan Honorer K 2 Kab Ponorogo Ceroboh

Akhir akhir ini mungkin tiada yang lebih termehek-mehek selain nasib tenaga honorer Dinas Pendidikan Kabupaten Ponorogo. Tangisan nan menghiba yang ditulis dalam Ponorogo Pos oleh sdr Dwi Wahyu Nugroho S. Pd seolah tidak berguna. Tulisan itu berjudul Pemerintah harus Perjelas Nasib GTT/PTT Non katagori (Ponorogo Pos no 658 Tahun XIV halaman 9).
Secara gampang tema tulisan itu adalah perhatiin donk nasib (guru) honorer. Masih juga ada imbuhan nesu semi mengancam atau mengecam (?). Terbukti pada alinea akhir yang intinya upaya hukum supaya jangan sampai dilakukan oleh pendidik. Hanya sayangnya dalam beberapa hal pada tulisan itu kurang kajian hukum agar yang diharapkan bisa terpetakan dengan jelas.
Permasalahan yang dikupas dalam rintihan itu mulai saja dari alinea empat terutama frasa kata proses uji publik belum jelas. Tidak pernah ada proses uji publik bilamana suatu undang undang sudah disahkan. Bilamana yang dimaksudkan adalah upaya judicial review pada Mahkamah Konstitusi memang benar.
Urgensi utama upaya uji materi adalah justru memberikan landasan yang kokoh agar yang utama pengangkatan tenaga honorer K 2 yang lulus tes menjadikan kokoh termasuk juga pelamar umum yang ditempatkan pada daerah provinsi serta kabupaten/kota.
Kesalahan mendasar SK pengangkatan mereka yang honorer K 2 yang lulus tes pada kabupaten Ponorogo tertera pada Rujukan hukum yang digunakan. Perhatikan konsiderans pada kata “menimbang”. Tertulis disitu UU 5/2014 tentang ASN. Penggunaan UU ASN jelas salah karena dalam UU ASN tidak terdapat perkenan mengangkat pegawai dengan cara seperti itu.
Pasal 139 dan 136 UU 5/2014 mencabut UU 43/1999 tentang Perubahan UU 8/1974 tentang Pokok Pokok Kepegawaian. Produk hukum ini diantaranya melahirkan PP 48/2005 dengan segala perubahannya termasuk perubahan yang
terakhir PP 56/2012. Ketiga PP itu yang merupakan dasar pembenar pengangkatan K2.
Pasal 139 UU 5/2014 tentang ASN tertera jelas terutama frasa kata “semua peraturan perundang-undangan yang merupakan peraturan pelaksanaan UU 43/1999 jo 8/1974 tentang Pokok Pokok Kepegawaian, dinyatakan masih tetap berlaku, dst” Frasa itu bisa merupakan pembenar pengangkatan tenaga honorer K 2 sebagai CPNS karena produk hukum yang relevan salah satunya adalah PP 56/2012.
Namun frasa kata berikutnya yang dimungkinkan membatalkannya sebab lanjutan frasa kata di atas adalah frasa kata “sepanjang tidak bertentangan dan belum diganti berdasarkan undang-undang ini”. Fakta yang ada belum ada Peraturan Pelaksana yang menggantikannya sehingga sah bilamana tidak bertentangan dengan Undang Undang ASN. Permasalahannya pada adanya pasal 136 yang mencabut dan menyatakan tidak berlaku UU 43/1999 jo 8/1974 tentang Pokok Pokok Kepegawaian.
Kedua Undang undang di atas yang memberi kewenangan Pemerintah untuk mengangkat langsung Pegawai Negeri Sipil (ayat (1) pasal 16 A UU 43/1999). Bilamana kedua UU itu dicabut maka menjadi tidak ada kewenangan pemerintah untuk mengangkat langsung Pegawai Negeri Sipil. Artinya asas legalitas meniadakan kewenangan presiden (pemerintah) untuk mengangkat “langsung”.
Batasan “langsung” bisa saja diperdebatkan mengingat mereka di tes sebelumnya. Namun benang merahnya ada pada tidak lagi ada “keistimewaan” yang memperkenankan pemerintah untuk mengistimewakan mereka yang tergolong honorer K 2. Perlakuan istimewa itu tampak pada nilai yang diperoleh dibandingkan dengan kelompok mereka sendiri bukannya dengan pelamar umum, serta usia yang lebih luwes bilamana dibandingkan dengan pelamar umum Keistimewaan seperti itu tidak lagi terdapat pada UU 5/2014.
Tidak bisa mengandalkan PP 48/2005 dengan segala PP yang merubahnya (terakhir PP 56/2012. Sebab walau terdapat ketentuan terutama frasa kata “semua peraturan perundang-undangan yang merupakan peraturan pelaksanaan dari UU 8/1974 sebagaimana yang diubah pada UU 43/1999 tentang pokok pokok kepegawaian dinyatakan masih tetap berlaku, dst” seperti pada pasal 139 UU 5/2014 tentang ASN tetap tidak bisa dijadikan pembenar. Karena frasa kata berikutnya adalah “tidak bertentangan dan belum diganti dengan undang undang ini”.
Intinya memang sudah terjadi pergantian undang-undang. Ada kepastian hukum karena tidak lagi terdapat perkenan pemerintah mengangkat langsung pegawai seperti pada UU 43/1999 yang merupakan perubahan UU 8/1974. Pasal 136 UU ASN mencabut dan menyatakan tidak berlaku lagi. Sehingga pengangkatan Honorer yang tergolong K 2 penulis anggap cacat hukum. Kepastian cacat hukum atau tidak akan terbukti berdasarkan putusan
hukum Peradilan Tata Usaha Negara yang telah memiliki kekuatan hukum tetap.
Kesalahan dasar hukum berikutnya ada pada penggunaan UU 32/2004. Seperti yang diketahui bersama pasal 137 UU 5/2014 tentang ASN mencabut bab V UU 32/2004 tentang Pemerintah Daerah yang mengatur Manajemen Kepegawaian Daerah. Salah satu ayat/pasal pada bab V UU 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah. Ayat (2) pasal 129 bab V UU 32/2004 tentang Pemda terutama frasa kata “… gaji, … kedudukan hukum, dst” telah tidak lagi memiliki kekuatan hukum mengikat.
Upaya Judicial Review penulis dan kawan-kawan agar para CPNS yang ditempatkan pada Daerah serta honorer K 2 yang lulus bisa memiliki payung hukum yang kokoh, bukannya meniadakan kesempatan mereka sebagai PNS.
Kedudukan hukum merupakan suatu hak yang melekat pada misalnya pejabat untuk melakukan tindakan hukum. Maka bilamana Hak hukum itu tercabut sangat tidak benar bilamana Ka BKD menandatangani SK Bupati tersebut.
Hal yang sama pada gaji misalnya. UU 32/2004 mengaitkan dengan UU 33/2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pusat dan Pemerintah Daerah. itulah bagian yang dihilangkan oleh pasal 137 UU 5/2014. Gaji merupakan bagian yang diatur pada bagian manajemen kepegawaian daerah pada ayat (3) pasal 134 UU 32/2004. Memang telah terbit aturan baru yang menaunginya hanya saja aturan itu disahkan tanggal 30 September 2014 dan diundangkan tanggal 02 bulan 10 tahun 2014 (UU 23/2014 tentang Pemda)
Relevansinya pada tanggal SK itu disahkan, sebelum Undang Undang tentang Pemerintah Daerah diberlakukan ataukah sesudah pemberlakuan UU 23/2014. Bilamana diterbitkan di atas tanggal 02 Oktober 2014 maka semakin tidak teliti yang dilakukan Ka BKD padahal ketelitian merupakan asas yang harus dipenuhi agar terbentuk tata kelola pemerintahan yang baik.
Ketiga pasal di atas (pasal 139, 137 dan 136 UU 5/2014) yang penulis mohonkan untuk putusan sela mengingat urgensinya. Tentu saja semoga dikabulkan. Artinya bila asumsi penulis (dkk) mengenai kesalahan ketiga pasal itu benar maka pengangkatan tenaga honorer K 2 sebagai PNS atau CPNS baru yang penempatanya pada Daerah bilamana dibawah tanggal 02 Oktober 2014 tidak akan cacat hukum.
Arti lain akan terdapat perkenan pemerintah untuk mengangkat tenaga honorer kembali dengan segenap varians pengangkatannya (langsung sebagaimana dokter dan/atau bidan), atau di uji dengan pembanding sesama tenaga honorer serta rentang usia yang lebih luwes.
Implikasinya selama belum ada putusan berkaitan dengan uji materi pada Mahkamah Konstitusi, maka selama itu pula UU 5/2014 masih memiliki kekuatan hukum mengikat. Akan cacat hukum yang dimungkinkan berimplikasi pidana sebagaimana komentar Ka BKN beberapa saat yang silam bilamana ada
pengangkatan honorer K 2 baik yang lulus maupun yang tersisa. Cabut dulu pasal 136, 137 dan 139 UU 5/2014 tentang ASN. Khususnya frasa kata “pemerintah dapat mengangkat langsung menjadi Pegawai Negeri Sipil, dst” seperti yang ada pada pasal 16 A UU 43/1999 yang relevan untuk tetap hidup. Bilamana masih tetap menggunakan UU 5/2014 tanpa pencabutan ketiga pasal di atas, usahlah berharap bagi tenaga honorer terlebih bilamana sudah pada usia kritis (35 tahun).

Be Smart and be Wisdom

Kesalahan tulisan sdr Dwi Wahyu N pada alinea 6 (enam). Alinea enam ada pada kolom dua. Kesalahannya Terutama pada frasa kata “Pemerintah mengeluarkan surat edaran tentang larangan sekolah mengangkat tenaga honorer” (baris keenam alinea dua). Sekolah bisa dibagi dua atas dasar siapa yang mendirikannya. Salah satu pendirinya adalah masyarakat. Tidak ada kewenangan pemerintah melarang sekolah yang didirikan masyarakat mengangkat tenaga honorer.
Kewenangan pemerintah yang ada pada sekolah yang didirikan masyarakat pada jaminan kepastian hukum berkaitan hak normatif yang melekat pada setiap pekerja termasuk tenaga honorer (tenaga Kontrak/tenaga dengan Perjanjian Kerja entah bermodelkan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu ataupun Perjanjian Kerja Waktu Tak Tertentu) dan harus diikat dengan kontrak kerja.
Namun bilamana yang dimaksudkan sdr Dwi Wahyu N adalah sekolah Negeri tetap saja cacat hukum. Belum ada ketentuan yang mencabut ayat/pasal/bagian pengangkatan tenaga pendidik dan kependidikan oleh satuan pendidikan (baca sekolah). Contohnya bisa dilihat seperti yang diatur dalam ayat (2) pasal 41 UU 20/2003 terutama frasa kata “diatur oleh lembaga yang mengangkatnya, dst”.
Aturan berikutnya yang terlanggar adalah ayat (2) pasal 15 UU 14/2005 tentang Guru dan dosen terutama pada frasa kata “Guru yang diangkat oleh satuan pendidikan yang diselenggarakan Pemerintah atau pemerintah daerah, dst”. Ayat/pasal pada UU 14/2005 menyebabkan bilamana ada aturan dibawah undang undang yang melarang pengangkatan guru oleh satuan pendidikan yang didirikan Pemerintah atau pemerintah daerah maka siapapun pembuatnya jelas bertentangan dengan undang undang artinya tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.
Permasalahan yang paling krusial bukanlah membuat aturan baru berkaitan dengan pengaturan hak normatif GTT dan/atau PTT. Tidaklah berdasar hukum menggugat hak normatif GTT/PTT. Jaminan hukum hak normatif yang melekat pada GTT sangatlah memadai. Permasalahan yang lebih penting adalah kejelasan makna Gaji yang sesuai peraturan perundang-undangan (lihat ayat (2) pasal 15 UU 14/2005). Artinya penghasilannya harus
diatas kebutuhan hidup minimum (lihat ayat (1) pasal 15 UU 14/2005). Makanya menjadi relevan pengaturan batas minimal Upah/gaji yang harus mereka terima. Itulah hak normatif yang melekat pada pekerja non PNS apapun statusnya (baik K 2 maupun K non katagori.. Baik Pendidik maupun Tenaga Kependidikan. Tidak perlu peraturan Menteri (Pendidikan) demikian ujar Mendiknas beberapa saat yang silam. Pernyataan itu memang benar karena itulah kewenangan milik Pemda.
Setiap kepala sekolah yang mempekerjakan Tenaga pendidik dan Tenaga Kependidikan non PNS wajib membuatkan kontrak kerja yang ditandatangani oleh satuan pendidikan baik yang didirikan Pemerintah atau Pemerintah Daerah (lihat ayat (2) pasal 170) PP 66/2010 yang merupakan perubahan atas PP 17/2010 tentang Pengelolaan dan Penyelenggaraan Pendidikan. Aturan ini wajib dipatuhi agar melindungi tenaga Pendidik dan Kependidikan non Pegawai Negeri Sipil yang bekerja pada satuan pendidikan yang didirikan pemerintah atau pemerintah daerah dengan cara memiliki payung hukum yang kokoh berupa kontrak kerja.
Mayoritas Tenaga Pendidik dan Kependidikan yang non PNS dan bekerja pada satuan pendidikan dan/atau lembaga pemerintah tidak memiliki kontrak kerja yang dimaksud. Penulis yang merupakan Koordinator Forpimmisa (Forum Pimpinan Implementasi Membumikan Kepastian Hukum dan peduli Honorer bermoto Mitreka Sathata) memperjuangkan agar Tenaga Pendidik dan Tenaga kependidikan serta Tenaga Kesehatan yang ada pada Puskesmas memperoleh kontrak kerja terlebih dahulu walau harus sekali lagi bertarung pada lembaga peradilan dalam hal ini Ombudsman Republik Indonesia Perwakilan Jawa Timur di Surabaya.
Lupakan dahulu sejenak perjuangan sertifikasi dan/atau gaji seperti yang diperjuangkan PGRI (lihat alinea 8) terhadap GTT. Bilamana benar, maka PGRI agaknya lalai pada nasib Tenaga Kependidikan, Tertera jelas pada huruf (e) ayat (3) pasal 34 PP 17/2010 Pemerintah Kabupaten/kota wajib memfasilitasi sertifikasi Tenaga Kependidikan. Sudah masanya prinsip justice for All dibumikan di Persada tercinta ini. Prinsip ini yang diperjuangkan pula oleh Forpimmisa walau harus sekali lagi bertarung pada lembaga Peradilan.
Intinya secara langsung Pemda wajib mengimplementasikan semua kewajiban sebagaimana yang tertera pada suatu produk hukum yang lebih tinggi. Itulah esensi sumpah jabatan Bupati dan wakilnya yaitu menjalankan peraturan perundang-undangan dengan selurus-lurusnya. Bilamana tidak melakukannya dalam konteks ini maka tindakannya setara dengan bentuk Pembangkangan Hukum.
Contoh Pembangkangan Hukum adalah terbitnya Surat Perintah Kerja Bupati Ponorogo Nomor : 800/21/405.18/2014. Banyak keganjilan yang ada pada SPK tersebut. Keganjilan yang teramat memalukan. Pada Konsiderans pada kata “dasar” terdiri dari 3 (tiga) nomor. Rujukan hukum nomor 1 (satu)
adalah penggunaan UU 43/1999 jo UU 8/1974 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian. Rujukan hukum nomor dua menggunakan UU 13/2003 hanya saja dikemas dalam mengacu aturan Gubernur dan rujukan hukum 3 mendasarkan pada kontrak kerja bersama antara sekelompok pekerja dengan Bupati yang dilakukan pada tanggal 02 Januari 2014.


SPK Memalukan Bupati nan Kaya Masalah

Walau ditetapkan pada tanggal 15 April 2014 namun pemberlakuannya dihitung mundur yaitu pada tanggal 02 Januari 2014. Alasan pembenarnya pastilah dasar hukum ketiga yaitu tanggal terteranya pembuatan kontrak bersama antara pekerja dengan Bupati sebagai pemangku daerahnya. Minteri yang tidak cerdas sama sekali.
Ada dua keuntungan membuat dasar hukum UU 43/1999 jo 8/1974 bukannya UU 5/2014 bilamana mengacu pada tanggal ditandatanganinya SPK tersebut. Pertama, tidak terkena larangan ayat (1) pasal 94 UU 5/2014 tentang ASN yang bunyi selengkapnya adalah “jenis jabatan yang dapat diisi PPPK diatur dengan Peraturan Presiden”. Peraturan Presiden berkaitan dengan PPPK belumlah ada.
Pemda terhindar dari masalah dasar hukum hak normatif yang melekat pada PPPK bilamana menggunakan UU 5/2014 padahal aturannya pada saat SPK itu ditandatangani masih belum ada (bahkan hingga sekarang saja belum ada) belum lagi masalah berkaitan dengan pengadaan PPPK yang harus dengan tes terlebih dahulu.
Pada nomor 2 (dua) tertera rujukan hukum berdasarkan Surat Keputusan Gubernur Jawa Timur nomor 188/309/KPTS/013/2007 tentang UMK di Jatim tahun 2008. Rujukan hukum itu pastilah menggunakan dasar ayat (3) pasal 89 UU 13/2003 tentang Ketenagakerjaan terutama pada frasa kata “…. Dan/atau Bupati/walikota.” Kesalahan yang ada pada penggunaan UMK tahun 2008 bukannya 2014 padahal tahun pembuatannya adalah tahun 2014. Kesalahan yang disengaja agar membayar upah yang murah karena hanya wajib membayar Rp 500.000,00/bulan/per pekerja bukannya Rp 1.040.000,00 bilamana menggunakan perhitungan UMK tahun 2014.
Tidak ada dasar hukum yang bisa digunkan sebagai pegangan pembayaran upah dengan menggunakan standar mundur seperti itu. Tindakan itu bukanlah cerdas, namun lebih merupakan tindak penyelundupan hukum. Esensi relasi industrial Pancasila adalah terpenuhinya hak normatif yang dimiliki setiap pekerja dan menghindarkan pekerja dari kesewenang-wenangan pemberi kerja.
Keruwetan berikutnya adalah pada lampiran SPK. Nama-nama yang tercantum sejumlah 94 nama. Variasi usia beragam dan tingkat pendidikannya mulai dari SD hingga Sarjana. Upah yang diterima kesemuanya rata yaitu Rp
500.000,00 (setara UMK tahun 2008, bilamana menggunakan UMK 2014 sebesar Rp 1.040,000,00).
Bilamana dihitung kekurangan upah mereka setidaknya menjadi 94 X Rp 500.000 atau setara Rp 50,760.000,00 per bulan. Setahun kekurangan gaji yang harus dibayar Pemda Kab Ponorogo menjadi minimal Rp 598.120.000,00 per tahun. Perhitungan itu tanpa mempertimbangkan kenaikan upah karena lama pengabdian serta tingkat pendidikan.
Hitungan di atas nampaknya sudah benar padahal tidak jua. Kesalahan yang ada pada masih ada yang lulusan SD/SMP (13 orang pekerja). Gaji yang mereka terima seharusnya berbeda. Itulah sisi humanitas dan keindahan cinta yang ditunjukkan Pasangan ADA yaitu tetap mempekerjakan mereka walau usia sudah senja. Suatu hal yang sangat patut untuk dilembagakan.
Namun yang lulusan SLTA atau lebih tinggi tidaklah bisa diperlakukan sama dengan yang SLTP atau lebih rendah. Biasanya mereka yang berpendidikan menengan atas atau yang lebih tinggi difungsikan sebagai tenaga administrasi atau tenaga teknis strategis atau bidang medis.
Mereka yang pada bidang medis dan latar belakang pendidikannya tenaga medis misalnya, memiliki perhitungan tersendiri dan seharusnya tidak terdapat perkenan mengangkat mereka dengan perjanjian kerja waktu tertentu karena sifat kerjanya tetap (ayat (2) pasal 59 UU 13/2003). Bisa saja mereka semua diikat dengan perjanjian kerja waktu tertentu asal saja pekerjaan yang penyelesaiannya sementara sifatnya dan paling lama 3 (tiga) tahun (lihat huruf (b) ayat (1) pasal 59 UU 13/2003). Namun terjebak pada penggunaan dasar hukum UU 13/2003 tentang Ketenagakerjaan yang selalu mengacu pada UMK. Kontrak kerja yang jelas, masih juga disibukkan dengan batas maksimal perpanjangan kerja.
Perpanjangan masa kerja bagi mereka bilamana diperpanjang harus melewati masa jeda 30 hari perjanjian kerja yang lama dan paling lama 2 (dua) tahun (ayat (6) Pasal 59 UU 13/2003). Setelah itu masa Perjanjian kerjanya berakhir. Pada lampiran kolom akhir terdapat keterangan berdasarkan Surat Perintah kerja Bupati Nomor : 800/123/405.18/2013 tertanggal 16 April 2013. Keterangan itu menambah panjang keruwetan serta pengawuran yang ada.
Logika sehat yang ada perpanjangan mereka tidklah bulan April. Harusnya bulan Jabuari (karena yang ada pada RSUD mayoritas tergolong K 2) dan nama yang sudah lulus memang dimaksudkan untuk “membenarkan” fakta hukum perjanjian perpanjangan kerja bersama itu ditandatangani tanggal 2 januari 2014 ketika K 2 yang lulus masih belum lulus ketika itu.
Namun nama-nama K 2 yang ada bilamana mempertimbangkan keterangan berupa SPK bupati sebelumnya (tahun 2013) menjadikannya patut dipertanyakan sebab yang tergolong K 2 pastilah dimulai tanggal 03 Januari 2005 karena mereka ada berkat terbitnya PP 48/2005. Jadi sangat tidak masuk akal bilamana SPK Bupati tertandanya menjadi Bulan April 2014.
Itulah keruwetan yang ditimbulkan sebagai akibat SPK yang tidak diteliti oleh kedua belah pihak. Bagian ini yang harus bisa dijelaskan oleh pasangan ADA sebagai perwujudan asas keterbukaan yang merupakan hak yang dimiliki warga Ponorogo. Penjelasannya harus pula mampu menjawab mengapa harus ada pemilahan sehingga tidak tepat dengan jumlah yang ada pada jawaban FPGIS yang tentunya jumlah tenaga honorer K 2 masih lebih dari 500 pekerja, kemana kelompok tenaga pendidik dan kependidikan kala SPK itu dibuat.
Tidaklah mudah menguraikan permasalahan yang ada pada pekerja honorer K 2 yang tertera pada SPK “bodoh” yang terlanjur terbit dan diketahui publik secara luas. Kerumitan lainnya pada lama pengabdian. Lama Pengabdian yang membuat mereka semua tidak mudah dipetakan hubungan kerja berkaitan dengan status kepegawaiannya. Penyebabnya justru pembangkangan hukum karena menggunakan tenaga kerja itu lebih dari tiga tahun yang sudah seharusnya berubah menjadi Pegawai dengan Perjanjian Kerja Waktu Tak Tertentu atau Pegawai Tetap (lihat ayat (7) pasal 59 UU 13/2003). Instansi Pemerintah tidaklah memperkenankan adanya pegawai tetap non PNS. Yang ada hanya Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja dan PNS (pasal 6 UU 5/2014 tentang ASN) bilamana mengacu pada UU ASN.
Bilamana meneliti lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan SPK tersebut, tidak ada diferensiasi upah berdasarkan tingkat pendidikan. Tidak ada diferensiasi upah atas dasar tingkat pendidikan jelas bentuk pembangkangan hukum karena bertentangan dengan ayat (1) pasal 92 UU 13/2003 tentang Ketenagakerjaan. Utamanya pada frasa kata ”… struktur dan skala upah dengan memperhatikan … masa kerja, pendidikan dan kompetensi”.
Pada lampiran itu tertera dinas/instansi pemerintah penempatan tenaga kerja itu. Janganlah mencoba mencari Tenaga Pendidik atau Kependidikan pada lampiran SPK Bupati Ponorogo karena jelas tidak mungkin ada.
Kritik terakhir pada alinea terakhir tulisan anda, khususnya pada frasa kata “aturan yang tidak pasti”. Aturan yang ada sudah pasti, hanya pada implementasinya yang masih harus diperjuangkan. Sungguh itu tugas kita semua demi perwujudan good and clean corporate governance. Mungkin bernuansa menentang aturan/produk hukum atau kebijakan yang dibuat Pemerintah Daerah.
Perlu digaris bawahi bahwa tidak setiap tindakan yang menentang Produk hukum/kebijakan Pemerintah Daerah melalui lembaga peradilan berarti menjadi manusia yang tidak tahu tata krama, masih harus dilihat konteksnya. Itulah esensi masyarakat madani, anda setuju ???
Bagi Pasangan ADA justru di akhir masa jabatannya, sangatlah elok bilamana mendudah aturan yang selama itu menjadi kesalahannya sebagai akibat ulah eselon II.b yang merupakan pilihannya sendiri. Contoh yang perlu disikapi hingga menjadikan sebuah pernyataan yang bernas adalah
memperjelas perbedaan antara yang diungkap Dinas Pendidikan dengan satuan kerja/badan yang lain.
Menurut Dinas Pendidikan, Jumlah Tenaga Pendidik dan Kependidikan Kab Ponorogo sejumlah 318 orang (lihat jawaban Dinas Pendidikan yang ditujukan pada FPKB nomor satu pada Jawaban dan Penjelasan Bupati atas Pandangan Umum Fraksi-Fraksi terhadap Raperda APBD Kab Ponorogo 2015).
Ka BKD dalam jawaban yang ditujukan pada Fraksi GPIS seluruh K 2 yang tidak lulus sejumlah 336 orang baik guru (yang “hanya” 228 (4 tidak melakukan Verval) maupun Pegawai Teknis serta Tenaga Kesehatan dengan tambahan 10 orang diantaranya tidak mengikuti proses verval.
Dua pernyataan dari jajaran pasangan ADA akan menciptakan masalah. Utamanya kejelasan. Publik Ponorogo tentu butuh keterbukaan agar kontroversi ungkapan kedua kepala satuan kerja di atas bisa terurai dengan lebih jelas dan akurat.
Bilamana dibandingkan dengan surat kabar, pernyataan Ka BKD lebih membingungkan lagi. Ka BKD mengaku membutuhkan Tenaga Guru SD sejumlah 1240 orang (Radar Ponorogo halaman 37 dan 39, Tanggal 05 Desember 2014). Kalimat ini bisa diartikan jumlah tenaga honorer guru SD sejumlah 1240 orang dan beberapa diantaranya adalah K 2 yang tidak lulus tes. Tidak jelas apakah jumlah yang bedanya terlalu jauh dengan data Dinas Pendidikan itu menunjukkan ketidakbecusan melakukan koordinasi dan sinkronisasi ataukah karena alasan lainnya sehingga ketika mengumumkan pada publik angka yang beredar njomplang.
Penjelasan Ka BKD nampaknya pada upaya menunjukkan perjuangan yang “nakal” untuk menambah pegawai (menambah PNS berarti mengurangi beban APBD karena memberi honor K 2). Tapi janganlah senang dulu bagi GTT K 2 karena atas nama UU 5/2014 nasib anda tidaklah semulus yang akan anda harapkan. Pasal 139 UU 5/2014 khususnya frasa kata “sepanjang tidak bertentangan, dst” penghambatnya.
Frasa kata itulah yang menghambat penerapan Peraturan Pelaksana UU 43/1999 jo 8/1974. Misalnya PP 56/2012 yang merupakan dasar pengangkatan anda. PP 56/2012 merupakan perubahan kedua PP 48/2005. Produk hukum itu diciptakan ketika masih berlakunya UU 43/1999 jo 8/1974. Keistimewaan kedua produk hukum itu pada kewenangan pemerintah mengangkat langsung menjadi Pegawai Negeri Sipil. Bilamana anda beranggapan K 2 di uji maka masalah yang mengganjal berikutnya adalah pembandingnya mengapa harus khusus serta mengapa batas usianya harus luwes (bisa lebih dari 35 tahun).
Kebijakan itu masih mengundang kontroversi hukum. Sifat kebijakannya masih debatable. Bagi yang GTT k 2 tunggu saja belas kasihan Pemerintah bersama legislatif agar berkenan mengabulkan permohonan MK Forpimmisa, atau semoga saja para hakim agung Mahkamah Konstitusi berkenan mengabulkan gugatan pada pasal 139/ 137 dan 136 UU 5/2014 tentang ASN, Bravo Forpimmisa !
Atas dasar paparan diatas jelas bahwa kebijakan penanganan GTT/PTT Pemda Kab Ponorogo masihlah amburadul dan masih tidak jelas arah kebijakannya dalam mensejahterakan K 2. Belum lagi yang tergolong Honorer pasca terbitnya PP 48/2005 yang bilamana memperhatikan komentar pemangku jabatan tinggi beserta top eksekutif yang masih suka memelintir berita tergantung kepentingannya kala berbicara pada publik. Pekerja Honorer apapun katagorinya, mereka semua tentunya berharap kepastian karier berlandaskan payung hukum yang kokoh serta hak normatif yang melekat pada GTT/PTT terpenuhi agar mereka semua bisa tenang dalam berkarya. Hentikan mempermainkan nasib mereka !!! Finally buat Pasangan ADA berkaitan

Rabu, 03 Desember 2014

Lindungi kesehatan otak dengan minum kopi!



Lindungi kesehatan otak dengan minum kopi!

Reporter : Kun Sila Ananda | Kamis, 4 Desember 2014 10:36




Lindungi kesehatan otak dengan minum kopi!
Ilustrasi kopi. ©2014 Merdeka.com/Shutterstock/amenic181
Merdeka.com - Kabar baik untuk para penggemar kopi. Sebuah penelitian mengungkap bahwa kopi memiliki manfaat yang cukup besar untuk kesehatan otak. Selama ini kopi seringkali menimbulkan kontroversi dalam hal kesehatan karena kafein yang terkandung di dalamnya. Namun peneliti menunjukkan bahwa mengonsumsi kopi dalam jumlah wajar bisa memberikan manfaat untuk otak, baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang.

Ini dengan catatan bahwa peminum kopi tidak memiliki kebiasaan lain yang tak menyehatkan, seperti merokok, minum alkohol, serta menjalani pola hidup yang tak sehat. Ini dia beberapa manfaat kesehatan yang bisa diberikan oleh kopi untuk otak, seperti dilansir oleh Care2 (02/12).

1. Meningkatkan fokus
Mengonsumsi kopi akan membuat kemampuan otak meningkat dalam waktu singkat. Meski hal ini hanya berlaku sementara, namun kopi bisa membantu Anda bekerja lebih fokus ketika dibutuhkan. Kopi juga memicu adrenalin yang membuat orang lebih berenergi dan bersemangat, serta membantu meningkatkan mood.

2. Mencegah peradangan
Polifenol dalam kopi merupakan salah satu antioksidan yang bisa mencegah peradangan pada otak. Tak hanya itu, polifenol juga mencegah peradangan yang bisa menyebabkan masalah kesehatan lain seperti osteoporosis, kanker, dan penyakit jantung. Polifenol pada kopi juga membantu mengatasi peradangan pada dua bagian otak, yaitu pada bagian cortex dan hippocampus.

3. Mencegah Alzheimer
Berdasarkan penelitian yang dipresentasikan pada Alzheimer Europe Annual Conference tahun 2014 dikemukakan bahwa kopi bisa memberikan perlindungan terhadap penyakit Alzheimer. Orang dewasa yang mengonsumsi tiga sampai lima cangkir kopi setiap hari mengalami penurunan risiko terkena Alzheimer hingga 20 persen.

4. Menjaga fungsi otak seumur hidup
Penelitian dari national Institute on Aging menemukan bahwa pria dan wanita berusia 70 tahun yang mengonsumsi kopi secara teratur memiliki fungsi mental dan otak yang lebih baik dibandingkan yang tidak minum kopi.

Kesimpulannya, meski kafein dalam kopi tak baik dikonsumsi berlebihan, namun mengonsumsi kopi dalam batas yang wajar bisa membantu Anda menjaga kesehatan otak. Namun pastikan bahwa kebiasaan minum kopi ini tak dibarengi dengan kebiasaan tak sehat seperti minum alkohol atau merokok. Selain itu, tetap jaga kesehatan dengan berolahraga, menjalani gaya hidup yang sehat dan menjaga pola makan.
Baca juga:
Minum kopi dari cangkir berwarna biru terasa lebih manis
Cegah pikun di usia tua dengan rajin minum kopi
Minum kopi bisa sembuhkan kecanduan kokain?
Ternyata kopi bisa cegah penyakit terkait obesitas
Minum 3 cangkir kopi per hari untuk tingkatkan kesehatan lever
[kun]

Jumat, 07 November 2014

UU NO 5 TAHUN 2014 TENTANG ASN DAN PPPK

Isi Undang-Undang Aparatur Sipil Negara yaitu Undang-Undang No 5 Tahun 2014 adalah merupakan bagian dari Pokok-Pokok UU ASN yang berkaitan dengan Manajemen PPPK. PPPK Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja adalah merupakan bagian dari pegawai pemerintah yang Non dan dimulai di tahun 2014 ini.

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara pada Pasal 94 Ayat (4) seperti yang dilansir dari laman situs www.setkab.go.id berbunyi :"Penyusunan kebutuhan jumlah PPPK sebagaimana dimaksud dilakukan untuk jangka waktu minimal 5 (lima) tahun yang diperinci per 1 (satu) tahun berdasarkan prioritas kebutuhan, dan ditetapkan dengan Keputusan Menteri."

UU ini menegaskan, setiap warga negara Indonesia mempunyai kesempatan yang sama untuk melamar menjadi calon PPPK setelah memenuhi persyaratan persyaratan yang telah ditentukan juga.

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara

Pengadaan dalam rangka penerimaan pendaftaran lowongan PPPK sebagaimana dimaksud, dilakukan melalui tahapan perencanaan, pengumuman lowongan, pelamaran, seleksi, pengumuman hasil seleksi, dan pengangkatan menjadi PPPK. Adapun penerimaannya dilakukan melalui penilaian secara objektif berdasarkan kompetensi, kualifikasi, kebutuhan Instansi Pemerintah, dan persyaratan lain yang dibutuhkan dalam jabatan.

“Pengangkatan calon PPPK ditetapkan dengan keputusan Pejabat Pembina Kepegawaian, dengan masa perjanjian kerja paling singkat 1 (satu) tahun dan dapat diperpanjang sesuai kebutuhan dan berdasarkan penilaian kinerja,” bunyi Pasal 98 Ayat (1,2) UU ini.

Apakah PPPK dapat menjadi Pegawai Negeri Sipil (PNS)? UU ini menjawab, PPPK tidak dapat diangkat secara otomatis menjadi calon PNS. Untuk diangkat menjadi calon PNS, PPPK harus mengikuti semua proses seleksi yang dilaksanakan bagi calon PNS, dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Bahkan belakangan ini juga ada kabar informasi terkait dengan penerimaan PPPK ini bahwa nantinya para peserta tes cpns honorer K2 tahun 2013 yang tidak lulus tes cpns akan diangkat menjadi pegawai PPPK, akan tetapi ini juga harus melalui seleksi juga. 

Gaji Tunjangan Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK)

Mengenai hal ini juga berdasarkan pada UU No. 5/2014, maka pemerintah wajib membayar gaji yang adil dan layak kepada PPK berdasarkan beban kerja, tanggung jawab jabatan, dan resiko pekerjaan. Selain gaji, PPPK dapat menerima tunjangan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pemutusan hubungan perjanjian kerja PPPK, dilakukan dengan hormat adalah oleh karena hal seperti berikut ini :
  1. Jangka waktu perjanjian kerja berakhir.
  2. Meninggal dunia.
  3. Atas permintaan sendiri.
  4. Perampingan organisasi atau kebijakan pemerintah yang mengakibatkan pengurangan PPPK.
  5. Tidak cakap jasmani dan/atau rohani sehingga tidak dapat menjalankan tugas dan kewajiban sesuai perjanjian kerja yang disepakati.
Pemutusan hubungan perjanjikan kerja PPPK dilakukan dengan hormat tidak atas permintaan sendiri karena hal-hal sebagai berikut :
  1. Dihukum penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan tindak pidana tersebut dilakukan dengan tidak berencana.
  2. Melakukan pelanggaran disiplin PPPK tingkat berat atau tidak memenuhi target kinerja yang telah disepakati sesuai dengan perjanjian kerja.
Terhadap PPPK ini, menurut Pasal 106 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014, pemerintah wajib memberikan perlindungan berupa : 
  • Jaminan hari tua.
  • Jaminan kesehatan.
  • Jaminan kecelakaan kerja.
  • Jaminan kematian.
  • Bantuan hukum.
"Perlindungan berupa jaminan hari tua, jaminan kesehatan, jaminan kecelakaan kerja, dan jaminan kemarian dilaksanakan sesuai dengan sistem jaminan sosial nasional,” bunyi Pasal 106 Ayat (2) UU tersebut yaitu yang terdapat pada keseluruhan Undang-Undang Aparatur Sipil Negara ASN.

Honorer Bisa Jadi Pegawai Kontrak

Kepala Badan Kepegawaian Daerah (BKD) Kabupaten Banggai Syamsulrijal Poma mengatakan, dengan berlakunya Undang Undang nomor 5 tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negera (ASN). Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Banggai akan menyesuaikan dengan undang undang tersebut.
“Termasuk mekanisme PPPK yang akan yang diangkat oleh pejabat pembina kepegawaian. Mekanisme ini secara langsung menghilangkan adanya tenaga honorer,” jelasnya pada Luwuk Post.
Ia mengatakan, ribuan tenaga honorer yang nantinya tidak lulus seleksi CPNS yang direncanakan akan diumumkan pada Rabu (5/2) nantinya akan diseleksi untuk diangkat menjadi PPPK berdasarkan kontrak kerja yang akan dibuat oleh pejabat pembinan kepegawaian. “Tentunya, pengangkatan pegawai PPPK ini akan mengacu pada tingkat kebutuhan pegawai,” ujarnya.
Meski begitu, pemerintah daerah tetap berupaya agar ribuan tenaga honorer itu dapat bekerja kembali di setiap isntansi pemerintah. “Upaya itu ada tergantung tingkat kebutuhannya, yang paling penting pemda harus mengikuti UU ASN itu. Misalnya, guru dan tenaga kesehatan pemerintah masih membutuhkan maka akan dinagkat sebagai pegawai PPPK. Tentunya, berdasarkan kontrak kerja yang akan dibuat oleh pejabat pembina kepegawaian,” jelasnya.
Namun, bagi yang tak terakomodir menjadi pegawai PPPK itu, dapat mengikuti seleksi CPNS umum yang akan dibuka dalam waktu dekat ini. “Kalau yang tidak terakomodir dapat ikut dalam seleksi CPNS umum,” tuturnya. (bd)

Nasib Pegawai Honorer Tak Jelas dalam UU ASN

Jauh-jauh dari Ponorogo, Rochmadi Sularsono datang ke Jakarta. Anggota Forum Perjuangan Honorer Indonesia (FPHI) ini tengah mempersoalkan UU No. 5 Tahun 2014. Ia menilai Undang-Undang tentang Aparatur Sipil Negara (ASN) itu diskriminatif terhadap pegawai honorer. Intinya, ia menganggap UU ASN tidak mengatur keberadaan pegawai honorer, seperti diatur Pasal 2 ayat (3) UU No. 43 Tahun 1999 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian.

Secara khusus, pemohon memohon pengujian Pasal 2 hurufaij (asas manajemen ASN), Pasal 6 (jenis pegawai ASN), Pasal 58 (proses pengadaan PNS), Pasal 67 (Delegasi PP tata cara pengadaan dan tata cara sumpah PNS) dan Pasal 129 ayat (2) UU ASN (penyelesaian sengketa PNS). Misalnya, Pasal 6 menyebutkan Pegawai ASN terdiri atas a. PNS; dan b. PPPK (Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja).

“Pasal-pasal itu membuat nasib pegawai honorer tidak jelas karena tidak ada pengaturan khusus bagi pegawai honorer atau pegawai tidak tetap (PTT),” ujar Rohmadi dalam sidang pemeriksaan pendahuluan di ruang sidang Mahkamah Konstitusi, Senin (22/9).

Rochmadi didampingi Anggota FPHI lainnya, Marsono (Pegawai PTT SMAN Sampung Ponorogo) dan Arif Kusuma (Pegawai Guru Honorer SD Besuki Ponorogo).

Rochmadi mengatakan berlakunya UU ASN telah membatalkan UU Pokok-Pokok Kepegawaian yang membagi jenis pegawai negeri menjadi tiga golongan PNS, TNI/Polri, dan tenaga honorer. Perubahan istilah pegawai honorer menjadi PPPK ini bertentangan UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Sebab, UU Ketenagakerjaan menyebutkan pekerjaan yang sifatnya tetap tidak bisa dikontrakkan.

“PPPK sifatnya kontrak, setiap tahun bisa diperpanjang. Padahal, profesi guru, tenaga kesehatan, PTT, sifat pekerjaannya tetap,” ujar Rochmadi di hadapan majelis panel yang diketuai Wahidudin Adams.

Dia melihat melihat UU ASN banyak pertentangan aturan hukum termasuk dengan PP No. 11 Tahun 2002 tentang Pengadaan PNS dan PP No. 56 Tahun 2012 tentang Perubahan Kedua atas PP No. 48 Tahun 2005 tentang Pengangkatan Tenaga Honorer Menjadi CPNS. Menurut dia berlakunya UU ASN menutup ruang tenaga honorer untuk bisa diangkat menjadi CPNS. Sebab, kata “pengadaan” dalam Pasal 58 UU ASN menyiratkan hanya untuk pelamar umum, tanpa hak khusus yang dimiliki tenaga honorer.

“UU ASN “mimpi buruk” bagi pegawai honorer nonkategori. Alih-alih mewadahi tenaga honorer, justru memunculkan PPPK, sebelum nasib tenaga honorer dipastikan. Aturan itu mematikan hak tenaga honorer seperti diamanatkan PP No. 56 Tahun 2012.”

“UU ASN mencerminkan ketidakpastian hukum yang adil dan diskriminatif yang bertentangan dengan Pasal 27 ayat (1), Pasal 28D ayat (1), (3), dan Pasal 28I ayat (2) UUD 1945,” katanya.

Menanggapi permohonan, Wahiddudin Adams mempertanyakan legal standing pemohon apakah atas nama perorangan atau lembaga FPHI?. “Kalau mewakili forum itu, apa status forum itu berbadan hukum perkumpulan, yayasan, ormas? Ini harus diperjelas,” kata Wahid.

Dia juga menilai agar posita permohonan belum tergambar pertentangan normanya. Uraian permohonan lebih banyak menguraikan pertentangan dengan UU ASN dengan peraturan pemerintah. “Permohonan lebih banyak ‘curhatnya’ ya dan mengkaitkan dengan peraturan pemerintah,” kritiknya.

Dia mengingatkan UU ASN sebagai reformasi birokrasi sebagai pengganti UU Pokok-Pokok Kepegawaian, sehingga hanya mengenal PNS dan PPPK. Hal itu tidak bisa disamakan dengan aturan dalam UU Ketenagakerjaan. “Peraturan pemerintah yang masih mengacu UU Kepegawaian belum bisa diganti karena berlakunya UU ASN masih diberi tenggang waktu 2 tahun sejak diterbitkan,” katanya.

Anggota Majelis, Aswanto meminta pemohon menguraikan kerugian konstitusional dengan diberlakukannya pasal-pasal baik faktual maupun potensial. ”Ini harus betul-betul konkrit diurai dalam permohonan, kalau tidak berakibat permohonan kabur,” kata Aswanto.

Dia menyarankan agar permohonan ini mengatasnamakan perorangan saja karena FPHI belum memiliki AD/ART. “Bagian petitum yang banyak itu diubah dengan format petitum yang berlaku, pemohon bisa melihat contoh-contoh permohoan yang lazim di MK,” pintanya.

Panel lainnya, Patrialis Akbar juga menyarankan agar permohonan mengatasnamakan dua orang tenaga honorer yakni Marsono dan Arif Kusuma karena keduanya yang mengalami kerugian atau potensi. Sebab, pemohon Rochmadi sudah berstatus sebagai PNS, bukan tenaga honorer.

“Ya, memang nantinya pemohonnya bukan saya lagi, tetapi kedua tenaga honorer ini,” ujar Rochmadi usai persidangan menegaskan.


Share:

PEGAWAI PEMERINTAH DENGAN PERJANJIAN KERJA (PPPK)

Bisnis Online,Mlm,Peluang Usaha,Peluang Bisnis,Multi Level Marketing

JAKARTA – Pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja (PPPK) yang diatur dalam UU tentang Aparatur Sipil Negara (ASN) bukan merupakan tenaga honorer yang versi baru, karena sebenarnya sejak tahun 2005 pemerintah sudah melarang pengangkatan tenaga honorer.

Demikian halnya dengan tenaga honorer kategori 2 (K2) yang tidak lulus tes, maka status mereka tidak bisa serta merta menjadi PPPK.  Dalam UU ASN, PPPK  merupakan pegawai profesional. “PPPK berbeda sama sekali dengan tenaga honorer. Jadi tenaga honorer kategori 2 yang tidak lulus tes CPNS tidak bisa serta merta ditetapkan menjadi PPPK,” ujar Deputi SDM Aparatur Kementerian PANRB Setiawan Wangsaatmaja di Jakarta, Rabu (07/01).


Dikatakan, untuk menjadi PPPK, pintu masuknya jelas, seperti halnya untuk CPNS. Harus melalui pengusulan dan penetapan formasi, kinerjanya juga terukur. PPPK juga mendapatkan remunerasi, tunjangan sosial, dan kesejahteraan mirip sama dengan PNS. Karena itu, setiap instansi yang mengangkat harus mengusulkan kebutuhan dan formasinya, kualifikasinya seperti apa, serta harus melalui tes.

PPPK, seperti diatur dalam UU ASN adalah warga negara Indonesia yang memenuhi syarat tertentu, diangkat sebagai pegawai dengan perjanjian kerja oleh Pejabat Pembina Kepegawaian (PPK) sesuai dengan kebutuhan instansi pemerintah berdasarkan perjanjian kerja untuk jangka waktu tertentu dalam rangka melaksanakan tugas pemerintahan. “PPPK berhak memperoleh gaji dan tunjangan, cuti, perlindungan, dan pengembangan kompetensi,” tambah Setiawan.

Kepala Badan Kepegawaian Negara (BKN) Eko Soetrisno mengatakan, tenaga honorer kategori 2 yang tidak lulus tes, nantinya tergantung instansi atau pemerintah daerah masing-masing. Yang pasti, instansi yang punya K2 harus punya database. Hal ini menjadi PR bersama pemerintah pusat dan pemda. Setiap instansi yang mempekerjakan seseorang, harus jelas jenjang karirnya. “Bukan hanya masalah status, tapi kesejahteraannya juga harus diperhatikan,” tuturnya. (bby/HUMAS MENPANRB)


Terimakasih Sahabat... Telah berkenan berkunjung dan membaca salah satu artikel dari situs personal saya di www.dadangjsn.blogspot.com, untuk melihat revisi/perbaikan dari artikel berikut (jika diperlukan) silahkan kunjungi kembali publikasi terupdate dari artikel berikut ini di: http://dadangjsn.blogspot.com/2014/01/pegawai-pemerintah-dengan-perjanjian.html#ixzz3IOCz8bx8

Sabtu, 01 November 2014

Kamus Bahasa Indonesia Online

Kamus Bahasa Indonesia Online   data berasal dari Kamus Besar Bahasa Indonesia
Alamat website ini: www.KamusBahasaIndonesia.org   
Fungsi pencarian definisi kata sudah bekerja, silakan dicoba:
Masukkan kata dalam bahasa Indonesia untuk mencari arti / definisi
Kata yang dicari:     cari sejumlah kata sekaligus
tenagate.na.ga
[n] (1) daya yg dapat menggerakkan sesuatu; kekuatan: semakin tua, semakin kurang -- nya; ia tidak berdaya krn kehabisan --; (2) kegiatan bekerja (berusaha dsb): banyak -- terbuang dng sia-sia; segenap -- rakyat diarahkan ke pembangunan; (3) orang yg bekerja atau mengerjakan sesuatu; pekerja; pegawai: dl lapangan perindustrian masih sangat dibutuhkan -- ahli




tenaga dalamkekuatan yg dahsyat atau hebat pd seseorang yg bersumber dr jiwa; kekuatan batin; tenaga batin
tenaga elektromotif[Fis] selisih potensial antara kutub-kutub sebuah elemen sebelum kedua kutubnya dihubungkan
tenaga gerak[Fis] energi kinetik
tenaga honorertenaga kerja yg dibayar dng uang honorarium
tenaga kependidikananggota masyarakat yg mampu mengabdikan diri dl menyelenggarakan pendidikan sesuai dng keahliannya, yg bertugas sbg pembimbing, pengajar, peneliti, pengelola, atau administrator pendidikan
tenaga kerjate.na.ga ker.ja
[n] (1) orang yg bekerja atau mengerjakan sesuatu; pekerja, pegawai, dsb: proyek itu masih memerlukan ratusan --; (2) orang yg mampu melakukan pekerjaan, baik di dalam maupun di luar hubungan kerja
tenaga kudadaya (kekuatan) kuda; ukuran kemampuan mesin
tenaga ledak ototkualitas yg memungkinkan otot atau sekelompok otot untuk menghasilkan kerja fisik secara eksplosif
tenaga listriktenaga yg dihasilkan oleh arus listrik yg diukur dng watt; kekuatan listrik
tenaga masyarakatpekerja yg berasal dr masyarakat
tenaga mataharisumber penggerak yg berasal dr radiasi matahari
tenaga medistenaga kerja dl bidang kesehatan
tenaga mesinkekuatan yg ditimbulkan oleh mesin
tenaga nuklirte.na.ga nuk.lir
[n] sumber penggerak yg berasal dr nuklir
tenaga pendidiktenaga kependidikan yg bertugas sbg pembimbing, pengajar, dan/atau pelatih peserta didik
tenaga pengajartenaga pendidik yg tugas utamanya mengajar peserta didik
tenaga profesionalorang yg ahli menjalankan tugasnya dl suatu profesi tertentu
tenaga tekniktenaga kerja dl bidang teknik
tenaga tekniskaryawan yg bertugas membantu pimpinan dl bidang keteknisan
tenaga temporertenaga kerja untuk sementara waktu
tenaga terampilorang yg pekerja terampil krn melalui pengalaman tertentu
tenaga tetaptenaga atau pegawai yg diangkat dan bekerja secara tetap pd suatu lembaga (kantor, perusahaan, dsb) berdasarkan surat keputusan pimpinan)




aras tenaga[Fis] setiap nilai tenaga yg diizinkan untuk suatu sistem fisis yg dapat berkaitan dng lebih dr satu keadaan
bangkit tenaga listrikalat untuk mengubah tenaga mekanis menjadi tenaga listrik
biaya tenagasemua jenis pengeluaran yg dibayarkan kpd karyawan sbg balas jasa
kurang tenagatidak bertenaga; tidak kuat; (2) tidak cukup orang yg bekerja
memeras tenagame.me.ras tenaga
memeras keringat
menabur tenagame.na.bur tenaga
membuang-buang tenaga
pendapatan tenagapen.da.pat.an tenaga
pendapatan petani dikurangi bunga modal sendiri
pendapatan tenaga kerjapen.da.pat.an tenaga kerja
pendapatan yg diperoleh seorang buruh tani dl jangka waktu tertentu
pusat tenaga listrikpabrik pembangkit listrik
rugi tenagarugi berupa habisnya tenaga
tipe tenagajenis ternak yg dikembangbiakkan dng tujuan pokok untuk mendapatkan tenaganya (sbg penarik pedati, penarik roda, dsb)


Referensi: http://kamusbahasaindonesia.org/tenaga/mirip#ixzz3Ht2tsS4f

PP Mengenai Tenaga Honorer terbaru

PP Mengenai Tenaga Honorer terbaru

PP mengenai Tenaga Honorer terbaru - Tenaga Honorer selama ini menjadi perhatian tersendiri bagi pemerintah, keberadaan tenaga honorer memang sangat membantu kekurangan tenaga pendidik dan tenaga teknis lainnya, sehingga keberadaan para tenaga honorer tidak bisa dipandang sebelah mata, Hal inilah yang menjadi pendorong munculnya berbagai peraturan yang mengatur tenaga honorer, terakhir kalau tidak salah adalah PP Nomor 56 tahun 2012 ini. Ini merupakanPP yang cukup penting bagi tenaga honorer karena didalamnya berisi mengenai PERUBAHAN KEDUA ATAS PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 48 TAHUN 2005 TENTANG PENGANGKATAN TENAGA HONORER MENJADI CALON PEGAWAI NEGERI SIPIL dan disamping itu didalam PP No 56 Tahun 2012 ini juga berisi mengenai hal hal penting berkaitan dengan nasib tenaga honorer, Untuk lebih jelasnya, berikut Salinan mengenai PP Nomor 56 Tahun 2012 mengenai Tenaga Honorer 2012 beserta penjelasannya
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA

NOMOR 56 TAHUN 2012

TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 48 TAHUN 2005 TENTANG PENGANGKATAN TENAGA HONORER MENJADI CALON PEGAWAI NEGERI SIPIL

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang :
a. bahwa dalam Peraturan Pemerintah Nomor 48 Tahun 2005 tentang Pengangkatan Tenaga Honorer Menjadi Calon Pegawai Negeri Sipil sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2007, antara lain mengatur mengenai ketentuan pengangkatan tenaga honorer menjadi Calon Pegawai Negeri Sipil dilakukan secara bertahap mulai Tahun Anggaran 2005 dan paling lambat selesai Tahun Anggaran 2009;
b. bahwa dalam kenyataannya setelah dilakukan evaluasi sampai dengan Tahun Anggaran 2009 masih terdapat tenaga honorer yang memenuhi syarat Peraturan Pemerintah Nomor 48 Tahun 2005 sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2007 tetapi belum diangkat sebagai Calon Pegawai Negeri Sipil;
c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b, perlu menetapkan Peraturan Pemerintah tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Pemerintah Nomor 48 Tahun 2005 tentang Pengangkatan Tenaga Honorer Menjadi Calon Pegawai Negeri Sipil;

Mengingat :
1. Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; 2. Undang-Undang . . .
2. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1974 Nomor 55, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3041), sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 169, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3890);
3. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 125, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4437), sebagaimana telah dua kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 59, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4844);
4. Peraturan Pemerintah Nomor 97 Tahun 2000 tentang Formasi Pegawai Negeri Sipil (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 194, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4015) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 2003 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 122, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4332);
5. Peraturan Pemerintah Nomor 98 Tahun 2000 tentang Pengadaan Pegawai Negeri Sipil (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 195, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4016) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2002 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 31, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4192);
6. Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 2003 tentang Wewenang Pengangkatan, Pemindahan, dan Pemberhentian Pegawai Negeri Sipil (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 15, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4263) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 63 Tahun 2009 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 164);
7. Peraturan Pemerintah Nomor 48 Tahun 2005 tentang Pengangkatan Tenaga Honorer Menjadi Calon Pegawai Negeri Sipil (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 122, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4561) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2007 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 91, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4743);

MEMUTUSKAN:
Menetapkan : PERUBAHAN KEDUA ATAS PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 48 TAHUN 2005 TENTANG PENGANGKATAN TENAGA HONORER MENJADI CALON PEGAWAI NEGERI SIPIL.

Pasal I
Beberapa ketentuan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 48 Tahun 2005 tentang Pengangkatan Tenaga Honorer Menjadi Calon Pegawai Negeri Sipil (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 122, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4561) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2007 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 91, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4743), diubah sebagai berikut:
1. Penjelasan Pasal 3 ayat (2) diubah sehingga berbunyi menjadi sebagaimana tercantum dalam Penjelasan Pasal 3 ayat (2) Peraturan Pemerintah ini.
2. Ketentuan Pasal 4 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 4
(1) Pengangkatan tenaga honorer yang dibiayai dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah, dilakukan melalui pemeriksaan kelengkapan administrasi setelah dilakukan verifikasi dan validasi.
(2) Pelaksanaan verifikasi dan validasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh Tim Verifikasi dan Validasi yang dibentuk oleh Kepala Badan Kepegawaian Negara.
3. Ketentuan Pasal 5 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 5
(1) Dokter yang telah selesai atau sedang melaksanakan tugas sebagai pegawai tidak tetap atau sebagai tenaga honorer pada fasilitas pelayanan kesehatan milik pemerintah, dapat diangkat menjadi Calon Pegawai Negeri Sipil setelah melalui pemeriksaan kelengkapan administrasi.
(2) Pengangkatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan tanpa memperhatikan masa bakti sebagai pegawai tidak tetap atau masa kerja sebagai tenaga honorer, dengan ketentuan:
a. usia paling tinggi 46 (empat puluh enam) tahun; dan
b. bersedia bekerja pada fasilitas pelayanan kesehatan di daerah terpencil, tertinggal, perbatasan atau tempat yang tidak diminati paling singkat 5 (lima) tahun.
(3) Fasilitas pelayanan kesehatan di daerah terpencil, tertinggal, perbatasan atau tempat yang tidak diminati sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b ditetapkan oleh Gubernur, Bupati atau Walikota setempat berdasarkan kriteria yang diatur oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kesehatan.
(4) Tenaga ahli tertentu/khusus yang dibutuhkan oleh negara tetapi tidak tersedia di kalangan Pegawai Negeri Sipil dapat diangkat menjadi Calon Pegawai Negeri Sipil dengan kriteria:
a. usia paling tinggi 46 (empat puluh enam) tahun; dan
b. telah mengabdi kepada negara sekurang-kurangnya 1 (satu) tahun pada 1 Januari 2006.
(5) Pengangkatan tenaga ahli tertentu/khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (4) ditetapkan dengan Keputusan Presiden atas persetujuan prinsip menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pendayagunaan aparatur negara setelah mendapat pertimbangan teknis Kepala Badan Kepegawaian Negara.
(6) Pengangkatan Dokter dan tenaga ahli tertentu/khusus menjadi Calon Pegawai Negeri Sipil sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (4), dilakukan sampai dengan Tahun Anggaran 2014.
4. Ketentuan Pasal 6 diubah sehingga berbunyi sebagai berikut:
Pasal 6
(1) Pengangkatan tenaga honorer yang penghasilannya dibiayai dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah menjadi Calon Pegawai Negeri Sipil berdasarkan Peraturan Pemerintah ini dilakukan secara bertahap dan sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan keuangan negara mulai formasi Tahun Anggaran 2005 sampai dengan formasi Tahun Anggaran 2012.
(2) Pengangkatan tenaga honorer menjadi Calon Pegawai Negeri Sipil untuk formasi Tahun Anggaran 2012 sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan pada tahun anggaran berjalan.
(3) Tenaga honorer yang bekerja pada instansi pemerintah dan penghasilannya tidak dibiayai dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah dapat diangkat menjadi Calon Pegawai Negeri Sipil sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan keuangan negara berdasarkan formasi sampai dengan Tahun Anggaran 2014.
5. Di antara Pasal 6 dan Pasal 7 disisipkan 1 (satu) Pasal, yakni Pasal 6A berbunyi sebagai berikut:
Pasal 6A
(1) Pengangkatan tenaga honorer sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (3) dilakukan melalui pemeriksaan kelengkapan administrasi dan lulus seleksi ujian tertulis kompetensi dasar dan kompetensi bidang sesama tenaga honorer.
(2) Seleksi ujian tertulis kompetensi dasar sesama tenaga honorer sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan 1 (satu) kali dengan materi Tes Kompetensi Dasar (TKD) berdasarkan kisi-kisi yang ditetapkan oleh Pemerintah.
(3) Pembuatan soal dan pengolahan hasil ujian kompetensi dasar dilakukan oleh konsorsium Perguruan Tinggi Negeri yang dibentuk oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pendayagunaan aparatur negara bersama menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pendidikan.
(4) Pelaksanaan ujian tertulis di lingkungan instansi pusat dan provinsi dilaksanakan oleh Pejabat Pembina Kepegawaian masing-masing, sedangkan untuk kabupaten/kota dikoordinasikan oleh Gubernur selaku wakil pemerintah di wilayah provinsinya.
(5) Penentuan kelulusan bagi tenaga honorer yang mengikuti seleksi ujian tertulis kompetensi dasar sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan berdasarkan nilai ambang batas kelulusan (passing grade) yang ditetapkan oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pendayagunaan aparatur negara atas pertimbangan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pendidikan dengan memperhatikan pendapat dari konsorsium Perguruan Tinggi Negeri.
(6) Pengumuman kelulusan ujian tertulis kompetensi dasar dilakukan kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pendayagunaan aparatur negara berdasarkan nilai hasil ujian yang diolah oleh konsorsium Perguruan Tinggi Negeri dan mempertimbangkan masa pengabdian tenaga honorer yang bersangkutan.
(7) Tenaga honorer yang dinyatakan lulus ujian tertulis kompetensi dasar dilakukan tes kompetensi bidang (profesi) dengan mempertimbangkan dedikasi ditetapkan oleh masing-masing instansi berdasarkan materi ujian dari instansi pembina jabatan fungsional.
(8) Tenaga honorer yang dinyatakan lulus ujian sebagaimana dimaksud pada ayat (7) dapat diangkat menjadi Calon Pegawai Negeri Sipil berdasarkan jumlah dan kualifikasi formasi sampai dengan Tahun Anggaran 2014 yang ditetapkan oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pendayagunaan aparatur negara dengan tetap memperhatikan kebutuhan organisasi dan redistribusi serta kemampuan keuangan negara atas pendapat dari menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang keuangan.
(9) Tenaga honorer yang dinyatakan lulus ujian sebagaimana dimaksud pada ayat (8) tetapi kemudian diketahui tidak memenuhi persyaratan administratif yang ditentukan tidak dapat diangkat atau dibatalkan menjadi Calon Pegawai Negeri Sipil.

Pasal II
Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Pemerintah ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.

Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 16 Mei 2012
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
DR. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 16 Mei 2012
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
AMIR SYAMSUDIN
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2012 NOMOR 121
Salinan sesuai dengan aslinya
KEMENTERIAN SEKRETARIAT NEGARA RI
Asisten Deputi Perundang-undangan
Bidang Politik dan Kesejahteraan Rakyat,


Wisnu Setiawan


PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 56 TAHUN 2012 TENTANG PERUBAHAN KEDUA ATAS PERATURAN PEMERINTAH NOMOR 48 TAHUN 2005 TENTANG PENGANGKATAN TENAGA HONORER MENJADI CALON PEGAWAI NEGERI SIPIL

I. UMUM
Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 48 Tahun 2005 tentang Pengangkatan Tenaga Honorer Menjadi Calon Pegawai Negeri Sipil sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2007 antara lain ditentukan bahwa pengangkatan tenaga honorer menjadi Calon Pegawai Negeri Sipil dilakukan secara bertahap mulai Tahun Anggaran 2005 dan paling lambat selesai Tahun Anggaran 2009 dengan prioritas tenaga honorer yang penghasilannya dibiayai oleh Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah. Bahwa dalam kenyataannya setelah dilakukan evaluasi sampai dengan Tahun Anggaran 2009 masih terdapat tenaga honorer yang penghasilannya dibiayai dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah dan memenuhi syarat Peraturan Pemerintah Nomor 48 Tahun 2005 sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2007 tetapi belum diangkat sebagai Calon Pegawai Negeri Sipil. Dalam Peraturan Pemerintah ini juga mengatur tentang perlakuan bagi tenaga honorer yang bekerja pada instansi pemerintah dan penghasilannya tidak dibiayai oleh Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah.

Untuk menghargai masa pengabdian tenaga honorer dengan tetap menjamin kualitas sumber daya manusia aparatur pemerintah maka pengangkatan tenaga honorer menjadi Calon Pegawai Negeri Sipil akan dilakukan melalui pemeriksaan kelengkapan administrasi setelah dilakukan verifikasi dan validasi bagi tenaga honorer yang penghasilannya dibiayai dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah. Sedangkan bagi tenaga honorer yang tidak dibiayai dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah dilakukan melalui pemeriksaan kelengkapan administrasi dan seleksi ujian tertulis sesama tenaga honorer yang dilakukan secara objektif, transparan, dan akuntabel.
Untuk memetakan jumlah tenaga honorer yang memenuhi syarat sesuai Peraturan Pemerintah Nomor 48 Tahun 2005 tentang Pengangkatan Tenaga Honorer menjadi Calon Pegawai Negeri Sipil sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2007, Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Republik Indonesia telah mengeluarkan Surat Edaran Nomor 05 Tahun 2010 tanggal 28 Juni 2010 tentang Pendataan Tenaga Honorer yang bekerja di lingkungan instansi pemerintah yang ditujukan kepada Pejabat Pembina Kepegawaian Pusat dan Pejabat Pembina Kepegawaian Daerah sebagai dasar untuk melakukan pendataan tenaga honorer yang bekerja di lingkungan instansi pemerintah.
Adapun tenaga honorer dimaksud terdiri dari:
a. Kategori I
Tenaga honorer yang penghasilannya dibiayai dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara atau Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah dengan kriteria diangkat oleh pejabat yang berwenang bekerja di instansi pemerintah, masa kerja paling sedikit 1 (satu) tahun pada tanggal 31 Desember 2005 dan sampai saat ini masih bekerja secara terus menerus; berusia paling rendah 19 (sembilan belas) tahun dan tidak boleh lebih dari 46 (empat puluh enam) tahun pada tanggal 1 Januari 2006.

b. Kategori II
Tenaga honorer yang penghasilannya dibiayai bukan dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara atau dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah dengan kriteria, diangkat oleh pejabat yang berwenang, bekerja di instansi pemerintah, masa kerja paling sedikit 1 (satu) tahun pada tanggal 31 Desember 2005 dan sampai saat ini masih bekerja secara terus menerus, berusia paling rendah 19 (sembilan belas) tahun dan tidak boleh lebih dari 46 (empat puluh enam) tahun pada tanggal 1 Januari 2006.
Peraturan Pemerintah ini merupakan perubahan kedua atas Peraturan Pemerintah Nomor 48 Tahun 2005 sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2007 yang akan dijadikan sebagai dasar hukum untuk menyelesaikan tenaga honorer yang dinyatakan memenuhi syarat, baik syarat administratif maupun syarat lain yang ditentukan dalam Peraturan Pemerintah ini dan peraturan perundang-undangan lainnya.
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal I
Angka 1
Pasal 3
Ayat (2)
Huruf a
Penentuan usia dalam pengangkatan tenaga honorer menjadi Calon Pegawai Negeri Sipil:

a. bagi tenaga honorer yang dibiayai dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah untuk mengisi formasi Tahun Anggaran 2012; dan
b. bagi tenaga honorer yang tidak dibiayai dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah untuk mengisi formasi Tahun Anggaran 2013 dan formasi Tahun Anggaran 2014,
berusia paling tinggi 46 (empat puluh enam) tahun dan paling rendah 19 (sembilan belas) tahun pada 1 Januari 2006.
Huruf b
Penentuan masa kerja dalam pengangkatan tenaga honorer menjadi Calon Pegawai Negeri Sipil:
a. bagi tenaga honorer yang dibiayai dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah untuk mengisi formasi Tahun Anggaran 2012; dan
b. bagi tenaga honorer yang tidak dibiayai dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah untuk mengisi formasi Tahun Anggaran 2013 dan formasi Tahun Anggaran 2014,

mempunyai masa kerja paling sedikit 1 (satu) tahun pada 31 Desember 2005 dan sampai saat pengangkatan Calon Pegawai Negeri Sipil masih bekerja secara terus-menerus.
Angka 2
Pasal 4
Cukup jelas.
Angka 3
Pasal 5
Cukup jelas.
Angka 4
Pasal 6
Ayat (1)
Ketentuan ini berlaku bagi tenaga honorer yang memenuhi persyaratan Peraturan Pemerintah Nomor 48 Tahun 2005 sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2007.
Ayat (2)
Peraturan mengenai Tenaga Honorer terbaru
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Angka 5
Pasal 6A
Cukup jelas.
Pasal II
Cukup jelas.
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5318

Nah, itu tadi mengenai PP yang mengatur mengenai tenaga Honorer tahun 2012, sangat penting dan sangat berguna bagi para tenaga honorer yang akan diangkat menjadi CPNS. Jika anda berkenan silakan klik tombol Like Facebook atau tweet atau G+1 supaya teman-teman anda juga bisa membaca berbagai informasi dari blog ini Terimakasih