Selasa, 28 Juni 2016

Gaji Ke-14, Lebaran Extravaganza PNS

LEBARAN tahun ini akan menjadi lebaran extravaganza untuk para pegawai negeri sipil (PNS) yang sering menyebut dirinya sebagai abdi negara. Pemerintahan Jokowi-JK telah memberikan bonus berupa gaji ke-14 dengan tujuan meningkatkan kesejahteraan 4,5 juta PNS pada umumnya. Dan, khususnya, sebagai tunjangan khusus menjelang Lebaran. Hari ini sudah bisa ditarik dari rekening masing masing. Tentu saja hal tersebut perlu disambut positif karena membuat kondisi jutaan orang menjadi lebih baik. Apalagi di tengah bertambahnya kebutuhan dan rutinitas kenaikan harga menjelang Lebaran. Namun, keputusan tersebut juga ironis karena beberapa hal. Pertama, defisit APBN yang terus melebar. Artinya, gaji ke-14 menambah jurang defisit anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN). Jujur saja, para perencana APBN 2016 terlalu optimistis, kalau tidak boleh disebut ceroboh, dalam menetapkan proyeksi pendapatan. Seperti diketahui, dalam APBN perubahan, pemerintah hanya memproyeksikan penurunan target penerimaan negara sebesar Rp 88 triliun yang berati kurang dari 5 persen. Masalahnya, kondisi ekonomi masih lesu dan indeks kepercayaan bisnis masih landai. Artinya, pelaku ekonomi masih melihat ekonomi dalam kondisi lesu. Gilanya lagi, rencana belanja hanya diturunkan Rp 48 triliun. Artinya, target penerimaan Rp 1.735 triliun dan pengeluaran Rp 2.048 triliun yang berarti menjadikan utang sebagai satu-satunya sumber. Sementara itu, wacana tax amnesty sepertinya ”mandek” di tengah jalan. Ada risiko dengan menutup defisit APBN melalui utang. Secara politik, Jokowi-JK melanggar sumpahnya sendiri untuk membawa bangsa ini menjadi bangsa yang lebih mandiri. Dengan terus utang, berarti Jokowi-JK tidak beda dengan rezim sebelumnya. Bahkan, saat ini ada kesan Jokowi seperti tidak mendapat informasi cukup untuk kebijakan utang. Saat ini utang luar negeri kita mencapai USD 320 miliar (Rp 4.160.000.000.000.000). Ironisnya, utang dari Tiongkok tumbuh 58 persen setahun. Bagaimana kita bisa tegas terkait konflik Natuna jika kita terus berutang ke Tiongkok? Belum lagi masalah pembayaran angsuran pokok dan bunga utang luar negeri maupun dalam negeri yang makin menyedot APBN. Kedua, apakah benar bahwa hanya PNS yang miskin di Indonesia? Data terakhir BPS menunjukan, orang miskin di Indonesia hampir 29 juta atau mendekati 12 persen penduduk Indonesia. Yang memprihatinkan, jumlahnya terus meningkat, baik dalam angka maupun persentase. Artinya, memang ada PNS miskin, tetapi kemiskinan lebih masif ada di non-PNS. Kalau kita survei di masyarakat, secara rata-rata, kehidupan PNS lebih baik bila dibandingkan dengan masyarakat sekitarnya. Artinya, asumsi PNS miskin tidak sepenuhnya benar. Ketiga, PNS umumnya memiliki extraincome. Jokowi bukan PNS sehingga mungkin tidak memiliki pengetahuan tentang ini. Fokus ke Depan Tentu saja keputusan untuk memberikan gaji ke-14 sudah diambil. Yang terpenting sekarang, bagaimana memperbaiki kebijakan gaji ke-14 agar tidak membuat masyarakat menjadi ”tidak suka” terhadap PNS dan pemerintah. Jujur, mayoritas masyarakat non-PNS menilai, kebijakan tersebut demikian tidak adil karena pemegang saham negeri ini bukan hanya PNS. Apalagi, dengan masuknya komponen tunjangan jabatan dalam gaji ekstra, PNS golongan atas mendapat jauh lebih banyak. Sepertinya, ada konflik kepentingan di antara para pembuat kebijakan itu. Hampir tidak adanya resistansi dari DPR dan akademisi tentang kebijakan gaji ke-14 membuktikan sinyalemen tersebut. Kebijakan itu menguntungkan pribadi tertentu sehingga tidak ada protes walaupun kebijakan tersebut tidak membawa dampak optimal untuk kepentingan bangsa. Karena itu, ke depan, kebijakan gaji ke-14 perlu dikaji ulang. Baik peruntukan, komponen, dan penerimanya. Kalau memang ingin menolong PNS miskin, seharusnya golongan rendah mendapat lebih banyak. Komposisi PNS seperti piramida yang berarti golongan I dan golongan II lebih banyak. Mereka lebih membutuhkan tambahan penghasilan daripada golongan III, apalagi golongan IV. Kalau pemerintah ingin membagikan kebahagiaan kepada masyarakat lebih luas, jangan hanya PNS yang dipikirkan. Ada 29 juta orang miskin yang jauh lebih membutuhkan. Ini masalah kemauan dan keberpihakan. Presiden perlu memiliki staf di luar lingkaran kementerian untuk memberikan ide alternatif dalam rangka mendorong kohesi nasional. Kebijakan yang ”menganakemaskan” PNS bisa menimbulkan perasaan seolah-olah PNS warga kelas satu. Sebaliknya, orang miskin menjadi warga kelas tiga yang keberadaan dan kebutuhanya tidak perlu didengar. Kalau ada pejabat yang melakukan pembelaan bahwa pemberian tunjangan khusus kepada orang miskin sulit dan memerlukan operasional yang mahal, pecat saja orang itu. Saat ini database di Kementerian Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayan (PMK) sudah by name dan by address sehingga jauh lebih baik daripada database bantuan langsung tunai (BLT). Semoga Presiden Jokowi menyadari permasalahan itu sehingga perasaan dan harapan orang miskin untuk mendapat sedikit bantuan bukan hanya harapan kosong. Semoga parsel Lebaran dari Jokowi akhirnya akan datang walau harus menunggu tahun depan.