* Ini adalah photo dari
Shaykh Dr Abdalqadir as-Sufi al-Murabit ad-Darqawi
yang merupakan Shaykh zaman ini (Shyakh of Instruction) dari tarekat
syadzilliya-darqawiya, beliau adalah berkebangsaan skotlandia dan
mempunyai murid-murid dari seluruh dunia termasuk kami dari nusantara
(indonesia), beliau yang memberikan pengajaran penjelasan mendalam
tentang islam hari ini yang berkaitan dengan dinar-dirham, riba,
muamalat, sejarah, ekonomi, tassawuf, aml-madinah, sultanniya, amirat,
pasar, tassawuf, war of terrorism, what is islamic banking, fiskal
state, demokrasi, shalawat, diwan, burdha, hadra, al-hikam, mathnawi dan
banyak lagi hal lainnya. seorang yang kamu tidak bertemu dengannya
tanpa ijin Allah. beruntunglah orang-orang yang pernah bertemu dan
menjadi muridnya. carilah guru sejati.
—————————————————————————————————————-
sebuah cuplikan tulisan yang saya ambil dari buku
Heiddeger for Muslim,
Sisi Gelap Dari Renaisans
yang di tulis dengan brillian dan jelas oleh dua intelektual muslim
eropa berkebangsaan inggris dan spanyol , yaitu Abdalhaqq Bewley dan
Umar Vadillo yang merupakan juga fuqara dari Shaykh Dr. Abdalqadir
as-Sufi, terimkasih untuk sidi zaim saidi yang telah mencetak buku ini.
Saya berharap buku tersebut dibaca oleh kaum muda di universitas di
nusantara, agar mengerti apa yang terjadi tentang apa yang kita sebut
sekolah dan metodologi ilmu yang telah membuat kegelapan di abad ini.
buku ini sangat penting dibaca dan diketahui serta dimengerti tentang
suatu apa yang kita sebut orang berilmu atau mencari ilmu dalam
kenyataan kehidupan kita sebagai muslim dan umat manusia, silahkan simak
jangan ragu untuk berubah! mari kita mulai. ilmu sejati akan mencapai
kebenaran sejati! ilmu sejati menjadi penerang di jaman yang gelap.
(bandung, gerimis, 8 december 2007, menjelang reuni akbar 60 tahun FSRD
ITB)
KEMBALINYA PENGETAHUAN SEJATI
Qul huwa’llahu ahad, Allahu’s-Samad
Katakanlah: Dia Allah, Satu. Allah, Tempat Bergantung semua makhluk.
Pemahaman Tawhid
Di luar Al-Fatihah ayat-ayat dari Surat Al Ikhlas di atas boleh jadi
merupakan ayat di dalam Al Qur’an yang paling sering dibaca dan
diulang-ulang. Nabi Muhammmad, salallahu alaihi wassalam (saw),
menyatakan bahwa sepertiga bagian dari Qur’an diperuntukkan bagi tawhid –
pengetahuan tentang keesaan – dan bahwa seluruh tawhid terkandung dalam
Surat Al-Ikhlas, yang sebagian telah dikutip pada permulaan tulisan
ini. Ilmu tawhid merupakan unsur inti semua wahyu ilahi. Inilah yang
dibawa oleh semua nabi kepada umat mereka masing-masing. Kemampuan untuk
memahaminya menjadi ciri pembeda manusia dari semua makhluk lain.
Katakanlah: Dia Allah, Satu. Ada dua kata dalam bahasa Arab yang mengacu
pada makna “satu”: ahad dan wahid. Wahid merupakan satu bilangan
aritmatika, satu sebagai angka pertama dalam barisan bilangan, satu yang
berlanjut menjadi dua, tiga, empat dan seterusnya. Satu sebagai lawan
dari semua lambang bilangan. Sehingga Allah berkali-kali berfirman dalam
Qur’an, Ilahukum ilahun wahid (Tuhanmu ialah Tuhan yang Satu) sebagai
lawan dari dua atau lebih tuhan.
Tetapi, makna satu yang diungkapkan dengan ahad tidak seperti itu.
Kata ahad menunjukkan arti sejenis kesatuan yang mengakui tidak adanya
kemunginkan yang lain bersamanya. Dengan satu pada ahad tidak terdapat
kemungkinan keduaan. Inilah “ketunggalan mutlak” dari pakar fisika atom
yang menghalangi kemungkinan eksistensi apa pun yang lain bersamanya.
Hal ini menunjukkan kesatuan mutlak, yang tidak dapat disisipi, bersifat
transenden, dan tidak terdekati dari Allah, yang tidak ada apa pun yang
lain yang menyerikatinya (berasosiasi) dengan cara apa pun.
Jika Allah berhenti di sini sudah tidak akan ada peluang bagi
eksistensi apa pun yang bukan Dia dalam esensinya yang sangat halus dan
tidak dapat diketahui. Tetapi Dia membuka pintu bagi segala kekayaan
tanpa batas dalam kekuasaan kreatif-Nya dengan firmannya,
Allahu’s-Shamad. Nama as-Shamad sangat sulit diterjemahkan dengan
tepat. Dengan kata ini menunjukkan bahwa Ketunggalan Mutlak yang
transenden yang membuat segalanya ada dan menyediakan dukungan dan
pelestarian kepada semua itu di setiap waktu, bahwa pada-Nya semua
eksistensi sepenuhnya dan secara terus-menerus bergantung, agar bisa
tetap ada.
Kita akan sulit untuk memahaminya, mengasimilasi secara pasti apa
yang dimaksudkannya, dan memahami implikasinya bagi kita sebagai manusia
yang duduk di ruangan ini, kalau hanya dikemukakan dengan cara ini.
Tetapi di dalam seluruh lembaran Kitab-Nya, Allah memberi kita aneka
contoh, menunjuki kita pelbagai cara, jauh dari konsep intelektual yang
mengawang; ketunggalan-Nya diperlihatkan kepada kita di setiap saat. Dia
membuat jelas bagi kita bahwa Dia terlibat langsung di dalam semua yang
terjadi di dunia ini. Dia mengirim air hujan dari langit, Dia
menumbuhkan tetanaman dari bumi, Dia membentuk diri kita dan
mengeluarkan kita dari rahim ibu kita, Dia menahan burung-burung di
udara. Segala yang terjadi, semua yang kita lakukan, disebabkan langsung
oleh-Nya. Tidak ada kehidupan, tidak ada kekuatan kecuali oleh-Nya. Hal
ini jelas tersurat dalam ayat-ayat Qur’an. Dengan cara inilah
eksistensi berlangsung. Inilah inti ajaran Dien Allah. Hanya ada satu
yang terjadi dalam eksistensi dan itulah Perbuatan Allah pada segenap
tempat pada setiap saat.
Ada bahaya yang mengancam baik bagi kaum Muslim dan non-Muslim untuk
melabeli gambaran di atas sebagai “konsep Islami tentang ketunggalan”
atau yang semacam itu. Qur’an merupakan gambaran Eksistensi sebagaimana
adanya. Tidak ada dua realitas, yang ada hanya satu dan ini sama untuk
semua manusia. Pemahaman tentang eksistensi inilah yang menjadi inti
sejati semua agama dan tradisi-tradisi filosofis yang benar – yang
selalu sekaligus menjadi titik awal dan tujuan pengetahuan manusia.
Penulis merasa sangat yakin bahwa semua manusia nyaris secara
lengkap telah terputus dari akses atas pemahaman akan eksistensi semacam
ini. Manusia saat ini berada pada titik sejarah mereka, sementara
mereka memiliki segalanya sambil pada saat yang sama telah kehilangan
kapasitas untuk memahami tawhid dengan cara yang benar, meskipun
sebetulnya kita mempunyai kapasitas untuk memahami Ketunggalan Ilahi
yang membuat seorang manusia menjadi manusia dalam arti yang
sesunguhnya. Dengan kata lain, apa yang ingin penulis katakan ialah
bahwa semua maksud dan tujuan manusia telah kehilangan kontak dengan
hakikat yang memberi mereka tujuan dan pemenuhan diri sebagai manusia.
Jauh dari evolusi menjadi spesies yang lebih tinggi, kita sebagai
manusia telah mengalami devolusi sampai pada titik yang membuat kita
sedang tergelincir atau telah tergelincir dari sesuatu pegangan pokok
yang membuat kita adalah manusia. Penulis menyadari bahwa pernyataan ini
agak ekstrim tetapi penulis akan mencoba untuk memperlihatkan bagaimana
status yang menghkawatirkan ini telah menjelma dan, Insya Allah,
menunjukkan satu jalan untuk lepas darinya.
Pencerahan: Pudarnya Kebenaran Ilahi
Pertama-tama, perlu dikatakan bahwa, meski sejak semula sudah mengandung
cacat fatal dalam pemikiran teologi Kristiani, dasar perspektif
intelektual Eropa, sebagian terjadi dalam regenerasinya akibat
pengenalan gagasan-gagasan metafisika Yunani di abad ke-tiga, dan
sebagian lagi melalui pengandalan pada pengetahuan berdasar wahyu,
mencerminkan cara pandang eksistensi Unitarian (keesaan, peny.) yang
telah kami jelaskan garis besarnya di atas, yang berlanjut terus menjadi
apa yang kita kenal sebagai Abad Pertengahan. Tradisi klasik filosofi
Yunani Kuno diharmonisasikan dengan pengetahuan yang didapat sedikit
dari Kitab Injil menjadi sebuah sintesis yang dikenal dengan nama
aliran pemikiran scholasticism, dengan satu eksponen terbesarnya adalah
Thomas Aquinas.
Menurut pemikiran skolastik semua benda berasal dari Tuhan; dan Tuhan
bukan hanya menjadi dasar dari keberadaan mereka tetapi juga Kebaikan
tertinggi yang dengan-Nya semua hendak disatukan kembali. Tuhan
menciptakan dunia ini agar Dia mampu mengenal Diri dengan lebih lengkap.
Tuhan tidak hanya menciptakan tetapi secara terus-menerus melestarikan
dan menata-praja (govern) dunia baik secara langsung dengan hukum-hukum
abadi maupun secara tidak langsung melalui kekuatan para malaikat.
Pada semua makhluk Dia telah memberikan satu “fitrah” atau “bentuk”
dalam kebajikan yang mereka perlukan agar mereka dapat menjadi seperti
mereka dan mencari apa yang sesuai untuk mereka. Manusia berbeda dari
makhluk lain karena dialah satu-satunya yang memiliki ambisi spiritual
untuk mengetahui Tuhan dan di sinilah terletak satu-satunya pemenuhan
diri, tetapi dia juga dapat baik memilih maupun mengingkari peluang
agung ini. Manusia menurut fitrahnya yang paling dasar berorientasi
pada dunia adikodrati (supernatural); dia diciptakan untuk memiliki
pengetahuan tentang Tuhan.
Dari ringkasan pendek perspektif skolastik ini korespondensi dasar
dengan tawhid sejati mestinya terlihat jelas. Bukannya lalu tidak ada
perbedaan di antara keduanya. Jelas sangat ada perselisihan pendapat
yang mendalam dan tidak bisa diakurkan dari keduanya, dan bahkan sampai
tingkat tertentu merupakan kontradiksi, anomali dan kekakuan yang
melekat pada pemikiran skolastik, yang membuka peluang dan mendorong
untuk perkembangannya lebih lanjut. Tetapi tidak diragukan bahwa
pandangan dasar dunia dan pendekatan fundamental terhadap eksistensi
dalam ajaran keesaan sejati sama dengan scholasticism abad pertengahan.
Kemudian datang Francis Bacon (dan penulis tidak maksudkan seperti
[bacon, sejenis sosis yang terbuat dari daging babi, peny.] yang anda
makan, walaupun yang penulis maksudkan ini sama sangat berbahayanya
terhadap kesehatan spiritual umat manusia). Hal ini bukan berarti bahwa
Bacon seorang diri yang mengubah cara pandang orang terhadap eksistensi,
tetapi dalam setiap gerakan intelektual tentu ada pihak yang
melambangkan dan mengungkapkannya; dan Francis Bacon sudah barang tentu
adalah orang yang berperan khusus dan berarti dalam pengubahan
perspektif manusia yang terjadi pada masa yang, menurut istilah sejarah,
disebut sebagai Renaissance atau Pencerahan ini.
Sebelum masa ini kebenaran sebuah proposisi apa pun terletak pada
apakah pernyataan tersebut sesuai atau tidak dengan data yang diberikan
oleh kewenangan ilahi. Namun, sejak saat [Pencerahan] itu dan masa
seterusnya ukuran kebenaran ialah apakah sebuah proposisi sesuai dengan
nalar manusia atau tidak. Sebelum Renaissance manusia tidak menaruh
kepedulian terhadap hal-hal di dalam diri mereka sendiri dan
diri-pribadi individual maupun perilaku tetapi hanya terhadap cara
mereka berhubungan dengan Keberadaan Total. Pada saat Renaissance
manusia mulai mengingini satu orientasi baru terhadap kehidupan dan yang
melibatkan mereka pada cara analisis dan penguasaan atas benda-benda
yang sebelumnya tak pernah terpikirkan. Sebagaimana Bacon mengatakan:
“Oleh karena itu mereka yang menentukan tidak main terka dan
main tebak tetapi menemukan dan mengetahui, tidak mengarang fabel-fabel
dan cerita roman tentang dunia, tetapi memandang ke dalam dan membedah
tabiat dunia nyata ini, harus berkonsultasi hanya pada benda-benda itu
sendiri.”
Mungkin anda mengatakan hal ini sebagai sentimen-sentimen yang layak
dikagumi, tetapi tunggu dan lihatlah apa implikasinya. Dunia nyata bagi
manusia pra-Renaissance merupakan kenyataan kekuasaan ilahi. Dunia
nyata Bacon merupakan kenyataan terbatas cerapan inderawi. Bagi Bacon,
dan mereka yang mengekor di belakangnya, kebenaran menjadi semakin
berarti kebenaran ilmiah. Lambat laun kebenaran ilmiah menjadi
satu-satunya kebenaran yang sahih. Kebenaran metafisik , yang kadang
kala tampak ganjil dengan pemahaman ilmiah yang terbatas, menjadi kian
terpinggirkan dan akhirnya diabaikan sama sekali. Apa yang benar dalam
tradisi abad Pertengahan semakin lama semakin ditolak.
Eksistensi, yang semula dianggap sebagai satu kesatuan, sebagai satu
totalitas antara matra-matra spiritual dan material yang saling susup
di antaranya, menjadi bercabang dua. Sejak saat ini ada kebenaran agama
dan kebenaran sains, yang berada dalam dua ranah yang terpisah. Dan,
jelas, bahwa keinginan Bacon adalah untuk memisahkan kebenaran agama
dari kebenaran ilmiah demi kepentingan sains dan bukannya agama. Dia
berkeinginan untuk selalu menjaga sains bersih dan murni dari agama.
Semua ini terkemas dalam diktum terkenal Bacon yang pada saat yang sama
merupakan penyangkalan terhadap tawhid dan sekaligus sumber dari seluruh
kebenaran sains. Dia mengatakan: Tuhan bekerja dalam alam hanya melalui
penyebab sekunder.
Kesesatan (fallacy) mendasar ini yang, secara metafisika, sama
sekali tidak benar dan sekalipun dengan verifikasi empiriknya yang
mengelabui, telah menjadi batu landasan bagi pandangan dunia ilmiah.
Terjadilah pergeseran umum minat dari metafisika ke fisika, dari
kontemplasi atas Ada (Being) menuju observasi dan analisis fenomena
fisik. Paham scientism dengan sebutan filsafat kealaman (natural)
menyatakan menggantikan teologi sebagai bentuk tertinggi pengetahuan.
Sebagaimana M. Maritain katakan dalam bukunya tentang Thomas Aquinas,
apa yang sebenarnya terjadi pada Renaissance ialah bahwa:
“Sains matematis atas dunia cerapan inderawi dan fenomenanya
telah mendahului metafisika dan akal manusia mulai menyatakan
independensinya dari Tuhan dan Ada (Being).”
Alih-alih merasa puas dengan jenis kebenaran yang konsisten dengan
ajaran yang tersingkap secara ilahiah (wahyu), manusia mulai mengingini
jenis kebenaran yang memungkinkan mereka mengukur, menimbang dan
mengendalikan benda-benda di sekitar mereka. Hal ini, menurut kata-kata
Bacon, untuk “memperluas lebih jauh batas-batas kekuasaan dan keagungan
manusia.”
“Tuhan” makin lama makin menyusut dan akhirnya tidak lagi ada dalam
pemahaman manusia dan menjadi, dalam istilah praktis, tidak relevan. Ini
karena bata-batas sebab-musabab peritiwa alam diketepikan tanpa henti
sampai akhirnya Dia, dalam padangan dunia ilmiah, semata-mata tidak
lebih dari sebuah hipotesis ilmiah yang dapat diidentifikasi dengan
mutlak.
Ilmu atau pengetahuan atas dasar wahyu mulai terlihat, kalau tidak
sia-sia, paling sedikit tidak ayal lagi menjadi sekunder, dan sering
sangat tidak mengenakkan. Sementara pengetahuan ilmiah, yang selama ini
dianggap sekadar sebagai tambahan terhadap wahyu, menjadi standar
tempat wahyu diuji. Jika fakta ilmiah tampak bertentangan dengan nas
wahyu, maka wahyu ditolak demi kepentingan sains.
Pandangan Dualitas
Bersama-sama dengan munculnya ahli filsafat Perancis, Descartes,
pemisahan antara agama dan sains oleh Bacon tersebut, antara dunia
spiritual dan material, menjadi semakin mengeras dan meluas. Descartes
menyatakan adanya dualisme dasar subjek/objek, ruh/materi. Manusia pun
terdiri atas jiwa dan raga yang terpisah meskipun bagaimana sepastinya
keduanya terhubung tidak pernah dipahamkan sepenuhnya. Manusia, menurut
Descartes, merupakan jiwa yang berpikir (a thinking mind) yang
terperangkap dalam satu jasad material yang memandang keluar ke sebuah
dunia yang tidak dikenal. Descartes dengan tepat dapat disebut sebagai
“bapak filsafat modern” karena hampir semua pemikir sesudahnya
menjadikan pandangan atas eksistensi yang dirumuskannya sebagai titik
awal.
Prestasi lain yang dielu-elukan dari Descartes ialah metode ilmiah
yang terkenal itu, yang membentuk secara serupa dan sebangun dan
membantu bentuk pandangan ilmiah yang tengah bangkit tentang eksistensi.
Cara lama pada dasanya menganggap semua benda diyakini sebagai
perwujudan kekuasan kreatif Ilahi. Tetapi titik awal Descartes merupakan
skeptisisme lengkap berkenaan baik dengan opini-opini dan kepercayaan
yang dicerap maupun data inderawi. Tidak ada yang dianggap benar sampai
hal tersebut dibuktikan secara konklusif oleh pengamat sebagai sesuatu
yang memang benar. Dia sendiri mengungkapnya:
“Jangan pernah menerima apa pun sebagai benar apa yang belum
secara jelas saya ketahui memang benar. . . yang tidak menyusun apa pun
lebih dari penilaian penulis yang tersaji pada pikiran yang begitu jelas
dan gamblang sehingga menepis segala dasar keraguan.”
Dengan demikian dia membuat dirinya sendiri dan, dengan perluasan,
nalar manusia pada umumnya, puncak ke-semaugue-an (ultimate arbiter)
tentang apa yang benar atau tidak benar. Apa yang Descartes tinggalkan
untuk kita adalah gambaran umat manusa sebagai satu jiwa yang terbungkus
dalam satu jasad yang memandang sebagai subjek/pengamat pada sebuah
dunia objektif/terpisah yang mengitarinya, yang harus dikendalikan dan
melayani dirinya.
Dia mengatakan dalam risalah Discourse on the Method:
“Saya memiliki persepsi adanya kemungkinan untuk sampai pada
pengetahuan yang sangat berguna dalam kehidupan. . . untuk menemukan
satu pengetahuan praktis tentang gaya dan kerja api, air,
bintang-bintang, langit-langit, dan semua jasad lain di sekitar kita. . .
kita juga dapat menerapkan cara yang sama terhadap semua cara yang kita
ambilpakai dan menyebabkan kita menjadi para penguasa dan pemilik
alam.”
Manusia tidak hanya dipandang terpisah dari dunia material di luar
dirinya, tapi pada dasarnya [harus dianggap] tidak dapat dipercayai dan
semua data yang masuk harus menjalani penelisikan sebelum diakui sebagai
layak dipercaya dan benar. Dia betul-betul merupakan ahli filsafat
jaman baru sains, yang pada saat yang sama skeptisismenya menggerogoti
cerapan inheren tentang pemeliharan Tuhan yang penuh kebaikan yang
hadir sampai saat itu. Sehingga dari sebuah situasi ketika jiwa diberi
preseden di atas materi kita bergerak bersama dengan Bacon menuju sebuah
situasi dengan kebanggaan akan tempat yang diberikan pada materi, dan
spiritual mengambil peran latar belakang.
Dengan Descartes, sisi spiritual eksistensi diceraikan dari sisi
material dan dilenyapkan sampai jangkauan luar semesta. Keadaan ini
merupakan satu langkah pendek menuju kesimpulan berdasar logika, tahap
pamungkas proses tersebut, yang akan memisahkannya sama sekali dari
kebersamaannya dengan yang spiritual. Posisi ini menemukan
pengungkapannya dalam karya ahli filsafat Inggris, Thomas Hobbes.
Dengan kata-katanya sendiri Hobbes menyatakan:
“Semesta ini, yakni, segenap massa benda yang, bersifat jasadi,
yakni, tubuh, dan yang memiliki aneka matra, misalnya panjang, lebar dan
dalam; juga semua bagian tubuh serupa dengan tubuh, dan mempunyai
matra-matra sejenis, dan konsekuensinya semua bagian semesta ini
merupakan tubuh, dan apa yang bukan tubuh bukan bagian dari semesta; dan
karena semesta ini semuanya, yang bukan merupakan bagian darinya bukan
apa-apa alias tidak ada, dan konsekuennya tidak di mana pun.”
Dengan kata lain, apa yang dikatakan Hobbes ialah bahwa yang riel
adalah eksistensi material dan apa pun yang bukan eksistensi material
tidak riel. Pada faktanya apa yang Hobbes lakukan ialah memberi ekspresi
pada apa yang dalam faktanya telah menjadi pandangan dominan tentang
eksistensi yakni bahwa yang benar hanyalah yang dapat diverifikasi
secara empirik. Keterbatasan cerapan indera manusia dalam kenyataannya
menjadi keterbatasan eksistensi. Jika kita tidak dapat menimbangnya atau
mengukurnya atau menetapkan waktunya atau dengan cara tertentu
mengendalikannya, hal tersebut tidak riel. Hal ini berarti bahwa di masa
Hobbes konsep mekanik-materialisme (mechanico-materialism) telah
diterima sebagai satu catatan yang lengkap atas realitas.
Pandangan eksistensi ini, sudah pasti, memiliki implikasi-implikasi
mendalam atas cara manusia dipersepsi. Dari menjadi seorang tawanan di
dalam tubuh, manusia tidak sepenuhnya diidentifikasi melalui tubuh
tersebut. Hobbes kembali menulis:
“Pada saat kita mengatakan bahwa ‘seorang manusia merupakan
jasad hidup,’ kita maksudkan bukan bahwa ‘manusia’ tersebut merupakan
satu hal, ‘jasad hidup’ hal yang lain, dan yang ‘merupakan’ atau
‘adalah’ hal yang ke-tiga; tetapi ‘manusia’ dan ‘jasad hidup’ merupakan
hal yang sama.”
Dengan pandangan Hobbes matra spiritual eksistensi apakah pada
manusia atau semesta, mikrokosmos atau makrokosmos, sama sekali tidak
diakui. Eksistensi dunia spirit telah berhenti.
Hal ini juga mendatangkan implikasi-implikasi mendalam pada bidang
sosial dan politik kehidupan manusia. Dalam pandangan lama kewenangan
mutlak sinonim dengan Tuhan, dalam pandangan baru kewenangan ada di
bumi, yang telah mencapai status mutlak. Status ini mernjadi kewenangan
mutlak. Pemerintah, aparatus negara, undang-undang pertanahan menjadi
ke-semau-gue-an mutlak perilaku manusia.
Hobbes mencela kemungkinan pengaruh spiritual “dan hal-hal lain yang
berfungsi mengurangi ketergantungan subjek pada kekuasaan memerintah
negara mereka.” Sehingga alih-alih menjadi hamba sebuah tatanan
universal yang penuh kebaikan manusia direduksi dengan identifikasi
sebagai subjek kewenangan terbatas waktu yang didikte oleh tempat dia
hidup yang mutlak hanya berdasar dugaan kuat