Sabtu, 13 Desember 2014

Peluang Rekrut PNS dari K2

KOTA – Moratorium rekrutmen calon pegawai negeri sipil (CPNS) yang diterapkan pemerintah pusat ternyata belum harga mati bagi tenaga honorer kategori dua (K2). Sebab, masih ada peluang mereka diangkat menjadi pegawai negeri. ‘’Memang ada penerimaan lagi untuk K2 tapi tidak semuanya lolos menjadi PNS,’’ terang kepala Badan Kepegawaian Daerah (BKD) Ponorogo Syaifur Rachman, kemarin.
Dia menyebut tenaga honorer yang masuk daftar K2 di Ponorogo mencapai 533 orang. Dari jumlah itu, 207 lolos seleksi CPNS beberapa waktu lalu. Kendati seorang akhirnya mengundurkan diri dan dua lainnya mengalami kendala di pembekasan. ‘’Sebanyak 326 honorer K2 sisanya masih diberi kesempatan menjadi PNS tapi tidak semuanya diterima,’’ ungkapnya.
Menurut Syaifur, Ponorogo mendapat jatah 100 formasi CPNS dari jalur K2. Yang mendapat prioritas adalah tenaga pendidikan. Sedangkan formasi tenaga teknis dan kesehatan masih tanda tanya. ‘’Kalau mekanisme penerimaannya, masih dikoordinasikan dengan Kementerian Pemberdayaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi. Kami berharap surat resminya segera turun,’’ jelasnya.
Dia memprediksi pemerintah pusat bakal merekrut K2 menjadi PNS melalui perangkingan skor hasil tes sebelumnya. Langkah itu bakal menekan biaya rekrutmen. ‘’Tapi bisa juga lewat mekanisme tes tulis seperti sebelumnya. Kemungkinan lebih besar adalah perankingan. K2 yang skoring tesnya berada di posisi atas memiliki peluang lolos, khususnya honorer guru,’’ ungkapnya.
Syaifur mengklaim penambahan 100 formasi dari jalur K2 itu tetap belum mampu memenuhi kebutuhan guru kelas sekolah dasar negeri (SDN). Sebab, ada 1.240 kursi guru kelas yang selama ini belum terisi di 21 kecamatan di Ponorogo. ‘’Paling tidak mengurangi beban pemerintah daerah memenuhi guru kelas PNS. Kekurangan saat ini masih diisi guru honorer,’’ tegasnya. (aan/hw)
align="center" behavior="alternate" width="90%"> selamat datang para pembaca

Pengangkatan Tenaga Honorer K 2 sebagai PNS Quo Vadis Penataan Tenaga Honorer

Pengangkatan Tenaga Honorer K 2 sebagai PNS
Quo Vadis Penataan Tenaga Honorer
(itu termasuk) Pendidik dan Tenaga Kependidikan
Suatu tantangan bagi Dinas Pendidikan
BKD Kabupaten Ponorogo
Dan Pasangan ADA

Oleh : Rochmadi “Soni PNS Raja Gugat” Sularsono


SK Pengangkatan Honorer K 2 Kab Ponorogo Ceroboh

Akhir akhir ini mungkin tiada yang lebih termehek-mehek selain nasib tenaga honorer Dinas Pendidikan Kabupaten Ponorogo. Tangisan nan menghiba yang ditulis dalam Ponorogo Pos oleh sdr Dwi Wahyu Nugroho S. Pd seolah tidak berguna. Tulisan itu berjudul Pemerintah harus Perjelas Nasib GTT/PTT Non katagori (Ponorogo Pos no 658 Tahun XIV halaman 9).
Secara gampang tema tulisan itu adalah perhatiin donk nasib (guru) honorer. Masih juga ada imbuhan nesu semi mengancam atau mengecam (?). Terbukti pada alinea akhir yang intinya upaya hukum supaya jangan sampai dilakukan oleh pendidik. Hanya sayangnya dalam beberapa hal pada tulisan itu kurang kajian hukum agar yang diharapkan bisa terpetakan dengan jelas.
Permasalahan yang dikupas dalam rintihan itu mulai saja dari alinea empat terutama frasa kata proses uji publik belum jelas. Tidak pernah ada proses uji publik bilamana suatu undang undang sudah disahkan. Bilamana yang dimaksudkan adalah upaya judicial review pada Mahkamah Konstitusi memang benar.
Urgensi utama upaya uji materi adalah justru memberikan landasan yang kokoh agar yang utama pengangkatan tenaga honorer K 2 yang lulus tes menjadikan kokoh termasuk juga pelamar umum yang ditempatkan pada daerah provinsi serta kabupaten/kota.
Kesalahan mendasar SK pengangkatan mereka yang honorer K 2 yang lulus tes pada kabupaten Ponorogo tertera pada Rujukan hukum yang digunakan. Perhatikan konsiderans pada kata “menimbang”. Tertulis disitu UU 5/2014 tentang ASN. Penggunaan UU ASN jelas salah karena dalam UU ASN tidak terdapat perkenan mengangkat pegawai dengan cara seperti itu.
Pasal 139 dan 136 UU 5/2014 mencabut UU 43/1999 tentang Perubahan UU 8/1974 tentang Pokok Pokok Kepegawaian. Produk hukum ini diantaranya melahirkan PP 48/2005 dengan segala perubahannya termasuk perubahan yang
terakhir PP 56/2012. Ketiga PP itu yang merupakan dasar pembenar pengangkatan K2.
Pasal 139 UU 5/2014 tentang ASN tertera jelas terutama frasa kata “semua peraturan perundang-undangan yang merupakan peraturan pelaksanaan UU 43/1999 jo 8/1974 tentang Pokok Pokok Kepegawaian, dinyatakan masih tetap berlaku, dst” Frasa itu bisa merupakan pembenar pengangkatan tenaga honorer K 2 sebagai CPNS karena produk hukum yang relevan salah satunya adalah PP 56/2012.
Namun frasa kata berikutnya yang dimungkinkan membatalkannya sebab lanjutan frasa kata di atas adalah frasa kata “sepanjang tidak bertentangan dan belum diganti berdasarkan undang-undang ini”. Fakta yang ada belum ada Peraturan Pelaksana yang menggantikannya sehingga sah bilamana tidak bertentangan dengan Undang Undang ASN. Permasalahannya pada adanya pasal 136 yang mencabut dan menyatakan tidak berlaku UU 43/1999 jo 8/1974 tentang Pokok Pokok Kepegawaian.
Kedua Undang undang di atas yang memberi kewenangan Pemerintah untuk mengangkat langsung Pegawai Negeri Sipil (ayat (1) pasal 16 A UU 43/1999). Bilamana kedua UU itu dicabut maka menjadi tidak ada kewenangan pemerintah untuk mengangkat langsung Pegawai Negeri Sipil. Artinya asas legalitas meniadakan kewenangan presiden (pemerintah) untuk mengangkat “langsung”.
Batasan “langsung” bisa saja diperdebatkan mengingat mereka di tes sebelumnya. Namun benang merahnya ada pada tidak lagi ada “keistimewaan” yang memperkenankan pemerintah untuk mengistimewakan mereka yang tergolong honorer K 2. Perlakuan istimewa itu tampak pada nilai yang diperoleh dibandingkan dengan kelompok mereka sendiri bukannya dengan pelamar umum, serta usia yang lebih luwes bilamana dibandingkan dengan pelamar umum Keistimewaan seperti itu tidak lagi terdapat pada UU 5/2014.
Tidak bisa mengandalkan PP 48/2005 dengan segala PP yang merubahnya (terakhir PP 56/2012. Sebab walau terdapat ketentuan terutama frasa kata “semua peraturan perundang-undangan yang merupakan peraturan pelaksanaan dari UU 8/1974 sebagaimana yang diubah pada UU 43/1999 tentang pokok pokok kepegawaian dinyatakan masih tetap berlaku, dst” seperti pada pasal 139 UU 5/2014 tentang ASN tetap tidak bisa dijadikan pembenar. Karena frasa kata berikutnya adalah “tidak bertentangan dan belum diganti dengan undang undang ini”.
Intinya memang sudah terjadi pergantian undang-undang. Ada kepastian hukum karena tidak lagi terdapat perkenan pemerintah mengangkat langsung pegawai seperti pada UU 43/1999 yang merupakan perubahan UU 8/1974. Pasal 136 UU ASN mencabut dan menyatakan tidak berlaku lagi. Sehingga pengangkatan Honorer yang tergolong K 2 penulis anggap cacat hukum. Kepastian cacat hukum atau tidak akan terbukti berdasarkan putusan
hukum Peradilan Tata Usaha Negara yang telah memiliki kekuatan hukum tetap.
Kesalahan dasar hukum berikutnya ada pada penggunaan UU 32/2004. Seperti yang diketahui bersama pasal 137 UU 5/2014 tentang ASN mencabut bab V UU 32/2004 tentang Pemerintah Daerah yang mengatur Manajemen Kepegawaian Daerah. Salah satu ayat/pasal pada bab V UU 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah. Ayat (2) pasal 129 bab V UU 32/2004 tentang Pemda terutama frasa kata “… gaji, … kedudukan hukum, dst” telah tidak lagi memiliki kekuatan hukum mengikat.
Upaya Judicial Review penulis dan kawan-kawan agar para CPNS yang ditempatkan pada Daerah serta honorer K 2 yang lulus bisa memiliki payung hukum yang kokoh, bukannya meniadakan kesempatan mereka sebagai PNS.
Kedudukan hukum merupakan suatu hak yang melekat pada misalnya pejabat untuk melakukan tindakan hukum. Maka bilamana Hak hukum itu tercabut sangat tidak benar bilamana Ka BKD menandatangani SK Bupati tersebut.
Hal yang sama pada gaji misalnya. UU 32/2004 mengaitkan dengan UU 33/2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pusat dan Pemerintah Daerah. itulah bagian yang dihilangkan oleh pasal 137 UU 5/2014. Gaji merupakan bagian yang diatur pada bagian manajemen kepegawaian daerah pada ayat (3) pasal 134 UU 32/2004. Memang telah terbit aturan baru yang menaunginya hanya saja aturan itu disahkan tanggal 30 September 2014 dan diundangkan tanggal 02 bulan 10 tahun 2014 (UU 23/2014 tentang Pemda)
Relevansinya pada tanggal SK itu disahkan, sebelum Undang Undang tentang Pemerintah Daerah diberlakukan ataukah sesudah pemberlakuan UU 23/2014. Bilamana diterbitkan di atas tanggal 02 Oktober 2014 maka semakin tidak teliti yang dilakukan Ka BKD padahal ketelitian merupakan asas yang harus dipenuhi agar terbentuk tata kelola pemerintahan yang baik.
Ketiga pasal di atas (pasal 139, 137 dan 136 UU 5/2014) yang penulis mohonkan untuk putusan sela mengingat urgensinya. Tentu saja semoga dikabulkan. Artinya bila asumsi penulis (dkk) mengenai kesalahan ketiga pasal itu benar maka pengangkatan tenaga honorer K 2 sebagai PNS atau CPNS baru yang penempatanya pada Daerah bilamana dibawah tanggal 02 Oktober 2014 tidak akan cacat hukum.
Arti lain akan terdapat perkenan pemerintah untuk mengangkat tenaga honorer kembali dengan segenap varians pengangkatannya (langsung sebagaimana dokter dan/atau bidan), atau di uji dengan pembanding sesama tenaga honorer serta rentang usia yang lebih luwes.
Implikasinya selama belum ada putusan berkaitan dengan uji materi pada Mahkamah Konstitusi, maka selama itu pula UU 5/2014 masih memiliki kekuatan hukum mengikat. Akan cacat hukum yang dimungkinkan berimplikasi pidana sebagaimana komentar Ka BKN beberapa saat yang silam bilamana ada
pengangkatan honorer K 2 baik yang lulus maupun yang tersisa. Cabut dulu pasal 136, 137 dan 139 UU 5/2014 tentang ASN. Khususnya frasa kata “pemerintah dapat mengangkat langsung menjadi Pegawai Negeri Sipil, dst” seperti yang ada pada pasal 16 A UU 43/1999 yang relevan untuk tetap hidup. Bilamana masih tetap menggunakan UU 5/2014 tanpa pencabutan ketiga pasal di atas, usahlah berharap bagi tenaga honorer terlebih bilamana sudah pada usia kritis (35 tahun).

Be Smart and be Wisdom

Kesalahan tulisan sdr Dwi Wahyu N pada alinea 6 (enam). Alinea enam ada pada kolom dua. Kesalahannya Terutama pada frasa kata “Pemerintah mengeluarkan surat edaran tentang larangan sekolah mengangkat tenaga honorer” (baris keenam alinea dua). Sekolah bisa dibagi dua atas dasar siapa yang mendirikannya. Salah satu pendirinya adalah masyarakat. Tidak ada kewenangan pemerintah melarang sekolah yang didirikan masyarakat mengangkat tenaga honorer.
Kewenangan pemerintah yang ada pada sekolah yang didirikan masyarakat pada jaminan kepastian hukum berkaitan hak normatif yang melekat pada setiap pekerja termasuk tenaga honorer (tenaga Kontrak/tenaga dengan Perjanjian Kerja entah bermodelkan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu ataupun Perjanjian Kerja Waktu Tak Tertentu) dan harus diikat dengan kontrak kerja.
Namun bilamana yang dimaksudkan sdr Dwi Wahyu N adalah sekolah Negeri tetap saja cacat hukum. Belum ada ketentuan yang mencabut ayat/pasal/bagian pengangkatan tenaga pendidik dan kependidikan oleh satuan pendidikan (baca sekolah). Contohnya bisa dilihat seperti yang diatur dalam ayat (2) pasal 41 UU 20/2003 terutama frasa kata “diatur oleh lembaga yang mengangkatnya, dst”.
Aturan berikutnya yang terlanggar adalah ayat (2) pasal 15 UU 14/2005 tentang Guru dan dosen terutama pada frasa kata “Guru yang diangkat oleh satuan pendidikan yang diselenggarakan Pemerintah atau pemerintah daerah, dst”. Ayat/pasal pada UU 14/2005 menyebabkan bilamana ada aturan dibawah undang undang yang melarang pengangkatan guru oleh satuan pendidikan yang didirikan Pemerintah atau pemerintah daerah maka siapapun pembuatnya jelas bertentangan dengan undang undang artinya tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.
Permasalahan yang paling krusial bukanlah membuat aturan baru berkaitan dengan pengaturan hak normatif GTT dan/atau PTT. Tidaklah berdasar hukum menggugat hak normatif GTT/PTT. Jaminan hukum hak normatif yang melekat pada GTT sangatlah memadai. Permasalahan yang lebih penting adalah kejelasan makna Gaji yang sesuai peraturan perundang-undangan (lihat ayat (2) pasal 15 UU 14/2005). Artinya penghasilannya harus
diatas kebutuhan hidup minimum (lihat ayat (1) pasal 15 UU 14/2005). Makanya menjadi relevan pengaturan batas minimal Upah/gaji yang harus mereka terima. Itulah hak normatif yang melekat pada pekerja non PNS apapun statusnya (baik K 2 maupun K non katagori.. Baik Pendidik maupun Tenaga Kependidikan. Tidak perlu peraturan Menteri (Pendidikan) demikian ujar Mendiknas beberapa saat yang silam. Pernyataan itu memang benar karena itulah kewenangan milik Pemda.
Setiap kepala sekolah yang mempekerjakan Tenaga pendidik dan Tenaga Kependidikan non PNS wajib membuatkan kontrak kerja yang ditandatangani oleh satuan pendidikan baik yang didirikan Pemerintah atau Pemerintah Daerah (lihat ayat (2) pasal 170) PP 66/2010 yang merupakan perubahan atas PP 17/2010 tentang Pengelolaan dan Penyelenggaraan Pendidikan. Aturan ini wajib dipatuhi agar melindungi tenaga Pendidik dan Kependidikan non Pegawai Negeri Sipil yang bekerja pada satuan pendidikan yang didirikan pemerintah atau pemerintah daerah dengan cara memiliki payung hukum yang kokoh berupa kontrak kerja.
Mayoritas Tenaga Pendidik dan Kependidikan yang non PNS dan bekerja pada satuan pendidikan dan/atau lembaga pemerintah tidak memiliki kontrak kerja yang dimaksud. Penulis yang merupakan Koordinator Forpimmisa (Forum Pimpinan Implementasi Membumikan Kepastian Hukum dan peduli Honorer bermoto Mitreka Sathata) memperjuangkan agar Tenaga Pendidik dan Tenaga kependidikan serta Tenaga Kesehatan yang ada pada Puskesmas memperoleh kontrak kerja terlebih dahulu walau harus sekali lagi bertarung pada lembaga peradilan dalam hal ini Ombudsman Republik Indonesia Perwakilan Jawa Timur di Surabaya.
Lupakan dahulu sejenak perjuangan sertifikasi dan/atau gaji seperti yang diperjuangkan PGRI (lihat alinea 8) terhadap GTT. Bilamana benar, maka PGRI agaknya lalai pada nasib Tenaga Kependidikan, Tertera jelas pada huruf (e) ayat (3) pasal 34 PP 17/2010 Pemerintah Kabupaten/kota wajib memfasilitasi sertifikasi Tenaga Kependidikan. Sudah masanya prinsip justice for All dibumikan di Persada tercinta ini. Prinsip ini yang diperjuangkan pula oleh Forpimmisa walau harus sekali lagi bertarung pada lembaga Peradilan.
Intinya secara langsung Pemda wajib mengimplementasikan semua kewajiban sebagaimana yang tertera pada suatu produk hukum yang lebih tinggi. Itulah esensi sumpah jabatan Bupati dan wakilnya yaitu menjalankan peraturan perundang-undangan dengan selurus-lurusnya. Bilamana tidak melakukannya dalam konteks ini maka tindakannya setara dengan bentuk Pembangkangan Hukum.
Contoh Pembangkangan Hukum adalah terbitnya Surat Perintah Kerja Bupati Ponorogo Nomor : 800/21/405.18/2014. Banyak keganjilan yang ada pada SPK tersebut. Keganjilan yang teramat memalukan. Pada Konsiderans pada kata “dasar” terdiri dari 3 (tiga) nomor. Rujukan hukum nomor 1 (satu)
adalah penggunaan UU 43/1999 jo UU 8/1974 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian. Rujukan hukum nomor dua menggunakan UU 13/2003 hanya saja dikemas dalam mengacu aturan Gubernur dan rujukan hukum 3 mendasarkan pada kontrak kerja bersama antara sekelompok pekerja dengan Bupati yang dilakukan pada tanggal 02 Januari 2014.


SPK Memalukan Bupati nan Kaya Masalah

Walau ditetapkan pada tanggal 15 April 2014 namun pemberlakuannya dihitung mundur yaitu pada tanggal 02 Januari 2014. Alasan pembenarnya pastilah dasar hukum ketiga yaitu tanggal terteranya pembuatan kontrak bersama antara pekerja dengan Bupati sebagai pemangku daerahnya. Minteri yang tidak cerdas sama sekali.
Ada dua keuntungan membuat dasar hukum UU 43/1999 jo 8/1974 bukannya UU 5/2014 bilamana mengacu pada tanggal ditandatanganinya SPK tersebut. Pertama, tidak terkena larangan ayat (1) pasal 94 UU 5/2014 tentang ASN yang bunyi selengkapnya adalah “jenis jabatan yang dapat diisi PPPK diatur dengan Peraturan Presiden”. Peraturan Presiden berkaitan dengan PPPK belumlah ada.
Pemda terhindar dari masalah dasar hukum hak normatif yang melekat pada PPPK bilamana menggunakan UU 5/2014 padahal aturannya pada saat SPK itu ditandatangani masih belum ada (bahkan hingga sekarang saja belum ada) belum lagi masalah berkaitan dengan pengadaan PPPK yang harus dengan tes terlebih dahulu.
Pada nomor 2 (dua) tertera rujukan hukum berdasarkan Surat Keputusan Gubernur Jawa Timur nomor 188/309/KPTS/013/2007 tentang UMK di Jatim tahun 2008. Rujukan hukum itu pastilah menggunakan dasar ayat (3) pasal 89 UU 13/2003 tentang Ketenagakerjaan terutama pada frasa kata “…. Dan/atau Bupati/walikota.” Kesalahan yang ada pada penggunaan UMK tahun 2008 bukannya 2014 padahal tahun pembuatannya adalah tahun 2014. Kesalahan yang disengaja agar membayar upah yang murah karena hanya wajib membayar Rp 500.000,00/bulan/per pekerja bukannya Rp 1.040.000,00 bilamana menggunakan perhitungan UMK tahun 2014.
Tidak ada dasar hukum yang bisa digunkan sebagai pegangan pembayaran upah dengan menggunakan standar mundur seperti itu. Tindakan itu bukanlah cerdas, namun lebih merupakan tindak penyelundupan hukum. Esensi relasi industrial Pancasila adalah terpenuhinya hak normatif yang dimiliki setiap pekerja dan menghindarkan pekerja dari kesewenang-wenangan pemberi kerja.
Keruwetan berikutnya adalah pada lampiran SPK. Nama-nama yang tercantum sejumlah 94 nama. Variasi usia beragam dan tingkat pendidikannya mulai dari SD hingga Sarjana. Upah yang diterima kesemuanya rata yaitu Rp
500.000,00 (setara UMK tahun 2008, bilamana menggunakan UMK 2014 sebesar Rp 1.040,000,00).
Bilamana dihitung kekurangan upah mereka setidaknya menjadi 94 X Rp 500.000 atau setara Rp 50,760.000,00 per bulan. Setahun kekurangan gaji yang harus dibayar Pemda Kab Ponorogo menjadi minimal Rp 598.120.000,00 per tahun. Perhitungan itu tanpa mempertimbangkan kenaikan upah karena lama pengabdian serta tingkat pendidikan.
Hitungan di atas nampaknya sudah benar padahal tidak jua. Kesalahan yang ada pada masih ada yang lulusan SD/SMP (13 orang pekerja). Gaji yang mereka terima seharusnya berbeda. Itulah sisi humanitas dan keindahan cinta yang ditunjukkan Pasangan ADA yaitu tetap mempekerjakan mereka walau usia sudah senja. Suatu hal yang sangat patut untuk dilembagakan.
Namun yang lulusan SLTA atau lebih tinggi tidaklah bisa diperlakukan sama dengan yang SLTP atau lebih rendah. Biasanya mereka yang berpendidikan menengan atas atau yang lebih tinggi difungsikan sebagai tenaga administrasi atau tenaga teknis strategis atau bidang medis.
Mereka yang pada bidang medis dan latar belakang pendidikannya tenaga medis misalnya, memiliki perhitungan tersendiri dan seharusnya tidak terdapat perkenan mengangkat mereka dengan perjanjian kerja waktu tertentu karena sifat kerjanya tetap (ayat (2) pasal 59 UU 13/2003). Bisa saja mereka semua diikat dengan perjanjian kerja waktu tertentu asal saja pekerjaan yang penyelesaiannya sementara sifatnya dan paling lama 3 (tiga) tahun (lihat huruf (b) ayat (1) pasal 59 UU 13/2003). Namun terjebak pada penggunaan dasar hukum UU 13/2003 tentang Ketenagakerjaan yang selalu mengacu pada UMK. Kontrak kerja yang jelas, masih juga disibukkan dengan batas maksimal perpanjangan kerja.
Perpanjangan masa kerja bagi mereka bilamana diperpanjang harus melewati masa jeda 30 hari perjanjian kerja yang lama dan paling lama 2 (dua) tahun (ayat (6) Pasal 59 UU 13/2003). Setelah itu masa Perjanjian kerjanya berakhir. Pada lampiran kolom akhir terdapat keterangan berdasarkan Surat Perintah kerja Bupati Nomor : 800/123/405.18/2013 tertanggal 16 April 2013. Keterangan itu menambah panjang keruwetan serta pengawuran yang ada.
Logika sehat yang ada perpanjangan mereka tidklah bulan April. Harusnya bulan Jabuari (karena yang ada pada RSUD mayoritas tergolong K 2) dan nama yang sudah lulus memang dimaksudkan untuk “membenarkan” fakta hukum perjanjian perpanjangan kerja bersama itu ditandatangani tanggal 2 januari 2014 ketika K 2 yang lulus masih belum lulus ketika itu.
Namun nama-nama K 2 yang ada bilamana mempertimbangkan keterangan berupa SPK bupati sebelumnya (tahun 2013) menjadikannya patut dipertanyakan sebab yang tergolong K 2 pastilah dimulai tanggal 03 Januari 2005 karena mereka ada berkat terbitnya PP 48/2005. Jadi sangat tidak masuk akal bilamana SPK Bupati tertandanya menjadi Bulan April 2014.
Itulah keruwetan yang ditimbulkan sebagai akibat SPK yang tidak diteliti oleh kedua belah pihak. Bagian ini yang harus bisa dijelaskan oleh pasangan ADA sebagai perwujudan asas keterbukaan yang merupakan hak yang dimiliki warga Ponorogo. Penjelasannya harus pula mampu menjawab mengapa harus ada pemilahan sehingga tidak tepat dengan jumlah yang ada pada jawaban FPGIS yang tentunya jumlah tenaga honorer K 2 masih lebih dari 500 pekerja, kemana kelompok tenaga pendidik dan kependidikan kala SPK itu dibuat.
Tidaklah mudah menguraikan permasalahan yang ada pada pekerja honorer K 2 yang tertera pada SPK “bodoh” yang terlanjur terbit dan diketahui publik secara luas. Kerumitan lainnya pada lama pengabdian. Lama Pengabdian yang membuat mereka semua tidak mudah dipetakan hubungan kerja berkaitan dengan status kepegawaiannya. Penyebabnya justru pembangkangan hukum karena menggunakan tenaga kerja itu lebih dari tiga tahun yang sudah seharusnya berubah menjadi Pegawai dengan Perjanjian Kerja Waktu Tak Tertentu atau Pegawai Tetap (lihat ayat (7) pasal 59 UU 13/2003). Instansi Pemerintah tidaklah memperkenankan adanya pegawai tetap non PNS. Yang ada hanya Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja dan PNS (pasal 6 UU 5/2014 tentang ASN) bilamana mengacu pada UU ASN.
Bilamana meneliti lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan SPK tersebut, tidak ada diferensiasi upah berdasarkan tingkat pendidikan. Tidak ada diferensiasi upah atas dasar tingkat pendidikan jelas bentuk pembangkangan hukum karena bertentangan dengan ayat (1) pasal 92 UU 13/2003 tentang Ketenagakerjaan. Utamanya pada frasa kata ”… struktur dan skala upah dengan memperhatikan … masa kerja, pendidikan dan kompetensi”.
Pada lampiran itu tertera dinas/instansi pemerintah penempatan tenaga kerja itu. Janganlah mencoba mencari Tenaga Pendidik atau Kependidikan pada lampiran SPK Bupati Ponorogo karena jelas tidak mungkin ada.
Kritik terakhir pada alinea terakhir tulisan anda, khususnya pada frasa kata “aturan yang tidak pasti”. Aturan yang ada sudah pasti, hanya pada implementasinya yang masih harus diperjuangkan. Sungguh itu tugas kita semua demi perwujudan good and clean corporate governance. Mungkin bernuansa menentang aturan/produk hukum atau kebijakan yang dibuat Pemerintah Daerah.
Perlu digaris bawahi bahwa tidak setiap tindakan yang menentang Produk hukum/kebijakan Pemerintah Daerah melalui lembaga peradilan berarti menjadi manusia yang tidak tahu tata krama, masih harus dilihat konteksnya. Itulah esensi masyarakat madani, anda setuju ???
Bagi Pasangan ADA justru di akhir masa jabatannya, sangatlah elok bilamana mendudah aturan yang selama itu menjadi kesalahannya sebagai akibat ulah eselon II.b yang merupakan pilihannya sendiri. Contoh yang perlu disikapi hingga menjadikan sebuah pernyataan yang bernas adalah
memperjelas perbedaan antara yang diungkap Dinas Pendidikan dengan satuan kerja/badan yang lain.
Menurut Dinas Pendidikan, Jumlah Tenaga Pendidik dan Kependidikan Kab Ponorogo sejumlah 318 orang (lihat jawaban Dinas Pendidikan yang ditujukan pada FPKB nomor satu pada Jawaban dan Penjelasan Bupati atas Pandangan Umum Fraksi-Fraksi terhadap Raperda APBD Kab Ponorogo 2015).
Ka BKD dalam jawaban yang ditujukan pada Fraksi GPIS seluruh K 2 yang tidak lulus sejumlah 336 orang baik guru (yang “hanya” 228 (4 tidak melakukan Verval) maupun Pegawai Teknis serta Tenaga Kesehatan dengan tambahan 10 orang diantaranya tidak mengikuti proses verval.
Dua pernyataan dari jajaran pasangan ADA akan menciptakan masalah. Utamanya kejelasan. Publik Ponorogo tentu butuh keterbukaan agar kontroversi ungkapan kedua kepala satuan kerja di atas bisa terurai dengan lebih jelas dan akurat.
Bilamana dibandingkan dengan surat kabar, pernyataan Ka BKD lebih membingungkan lagi. Ka BKD mengaku membutuhkan Tenaga Guru SD sejumlah 1240 orang (Radar Ponorogo halaman 37 dan 39, Tanggal 05 Desember 2014). Kalimat ini bisa diartikan jumlah tenaga honorer guru SD sejumlah 1240 orang dan beberapa diantaranya adalah K 2 yang tidak lulus tes. Tidak jelas apakah jumlah yang bedanya terlalu jauh dengan data Dinas Pendidikan itu menunjukkan ketidakbecusan melakukan koordinasi dan sinkronisasi ataukah karena alasan lainnya sehingga ketika mengumumkan pada publik angka yang beredar njomplang.
Penjelasan Ka BKD nampaknya pada upaya menunjukkan perjuangan yang “nakal” untuk menambah pegawai (menambah PNS berarti mengurangi beban APBD karena memberi honor K 2). Tapi janganlah senang dulu bagi GTT K 2 karena atas nama UU 5/2014 nasib anda tidaklah semulus yang akan anda harapkan. Pasal 139 UU 5/2014 khususnya frasa kata “sepanjang tidak bertentangan, dst” penghambatnya.
Frasa kata itulah yang menghambat penerapan Peraturan Pelaksana UU 43/1999 jo 8/1974. Misalnya PP 56/2012 yang merupakan dasar pengangkatan anda. PP 56/2012 merupakan perubahan kedua PP 48/2005. Produk hukum itu diciptakan ketika masih berlakunya UU 43/1999 jo 8/1974. Keistimewaan kedua produk hukum itu pada kewenangan pemerintah mengangkat langsung menjadi Pegawai Negeri Sipil. Bilamana anda beranggapan K 2 di uji maka masalah yang mengganjal berikutnya adalah pembandingnya mengapa harus khusus serta mengapa batas usianya harus luwes (bisa lebih dari 35 tahun).
Kebijakan itu masih mengundang kontroversi hukum. Sifat kebijakannya masih debatable. Bagi yang GTT k 2 tunggu saja belas kasihan Pemerintah bersama legislatif agar berkenan mengabulkan permohonan MK Forpimmisa, atau semoga saja para hakim agung Mahkamah Konstitusi berkenan mengabulkan gugatan pada pasal 139/ 137 dan 136 UU 5/2014 tentang ASN, Bravo Forpimmisa !
Atas dasar paparan diatas jelas bahwa kebijakan penanganan GTT/PTT Pemda Kab Ponorogo masihlah amburadul dan masih tidak jelas arah kebijakannya dalam mensejahterakan K 2. Belum lagi yang tergolong Honorer pasca terbitnya PP 48/2005 yang bilamana memperhatikan komentar pemangku jabatan tinggi beserta top eksekutif yang masih suka memelintir berita tergantung kepentingannya kala berbicara pada publik. Pekerja Honorer apapun katagorinya, mereka semua tentunya berharap kepastian karier berlandaskan payung hukum yang kokoh serta hak normatif yang melekat pada GTT/PTT terpenuhi agar mereka semua bisa tenang dalam berkarya. Hentikan mempermainkan nasib mereka !!! Finally buat Pasangan ADA berkaitan

Rabu, 03 Desember 2014

Lindungi kesehatan otak dengan minum kopi!



Lindungi kesehatan otak dengan minum kopi!

Reporter : Kun Sila Ananda | Kamis, 4 Desember 2014 10:36




Lindungi kesehatan otak dengan minum kopi!
Ilustrasi kopi. ©2014 Merdeka.com/Shutterstock/amenic181
Merdeka.com - Kabar baik untuk para penggemar kopi. Sebuah penelitian mengungkap bahwa kopi memiliki manfaat yang cukup besar untuk kesehatan otak. Selama ini kopi seringkali menimbulkan kontroversi dalam hal kesehatan karena kafein yang terkandung di dalamnya. Namun peneliti menunjukkan bahwa mengonsumsi kopi dalam jumlah wajar bisa memberikan manfaat untuk otak, baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang.

Ini dengan catatan bahwa peminum kopi tidak memiliki kebiasaan lain yang tak menyehatkan, seperti merokok, minum alkohol, serta menjalani pola hidup yang tak sehat. Ini dia beberapa manfaat kesehatan yang bisa diberikan oleh kopi untuk otak, seperti dilansir oleh Care2 (02/12).

1. Meningkatkan fokus
Mengonsumsi kopi akan membuat kemampuan otak meningkat dalam waktu singkat. Meski hal ini hanya berlaku sementara, namun kopi bisa membantu Anda bekerja lebih fokus ketika dibutuhkan. Kopi juga memicu adrenalin yang membuat orang lebih berenergi dan bersemangat, serta membantu meningkatkan mood.

2. Mencegah peradangan
Polifenol dalam kopi merupakan salah satu antioksidan yang bisa mencegah peradangan pada otak. Tak hanya itu, polifenol juga mencegah peradangan yang bisa menyebabkan masalah kesehatan lain seperti osteoporosis, kanker, dan penyakit jantung. Polifenol pada kopi juga membantu mengatasi peradangan pada dua bagian otak, yaitu pada bagian cortex dan hippocampus.

3. Mencegah Alzheimer
Berdasarkan penelitian yang dipresentasikan pada Alzheimer Europe Annual Conference tahun 2014 dikemukakan bahwa kopi bisa memberikan perlindungan terhadap penyakit Alzheimer. Orang dewasa yang mengonsumsi tiga sampai lima cangkir kopi setiap hari mengalami penurunan risiko terkena Alzheimer hingga 20 persen.

4. Menjaga fungsi otak seumur hidup
Penelitian dari national Institute on Aging menemukan bahwa pria dan wanita berusia 70 tahun yang mengonsumsi kopi secara teratur memiliki fungsi mental dan otak yang lebih baik dibandingkan yang tidak minum kopi.

Kesimpulannya, meski kafein dalam kopi tak baik dikonsumsi berlebihan, namun mengonsumsi kopi dalam batas yang wajar bisa membantu Anda menjaga kesehatan otak. Namun pastikan bahwa kebiasaan minum kopi ini tak dibarengi dengan kebiasaan tak sehat seperti minum alkohol atau merokok. Selain itu, tetap jaga kesehatan dengan berolahraga, menjalani gaya hidup yang sehat dan menjaga pola makan.
Baca juga:
Minum kopi dari cangkir berwarna biru terasa lebih manis
Cegah pikun di usia tua dengan rajin minum kopi
Minum kopi bisa sembuhkan kecanduan kokain?
Ternyata kopi bisa cegah penyakit terkait obesitas
Minum 3 cangkir kopi per hari untuk tingkatkan kesehatan lever
[kun]